Kemarau Sebabkan Kekeringan, Air Sungai Keruh Jadi Pilihan

Dika Dania Kardi | CNN Indonesia
Rabu, 25 Jul 2018 23:15 WIB
Meski dampaknya sudah terasa di sejumlah wilayah, BMKG memprediksi puncak musim kemarau di sebagian besar wilayah Indonesia terjadi Agustus - September 2018.
Warga mengambil air menggunakan jeriken dari Sungai Cihoe, Cibarusah, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Selasa (24/7). (ANTARA FOTO/Risky Andrianto)
Jakarta, CNN Indonesia -- Warga Desa Jelgung, Sampang, Jawa Timur terpaksa mengonsumsi air sungai yang sudah keruh untuk kebutuhan memasak dan mandi sehari-hari akibat kekurangan air bersih pada musim kemarau tahun ini.

Salah satunya Maryati, 35. Ia mengatakan terpaksa mengambil air sungai yang keruh tersebut karena sumber air di sumur rumahnya telah kering sejak sebulan lalu. Untuk meminimalisasi tingkat keruh, Maryati dan sejumlah warga lain menggunakan metode penyaringan sederhana hingga terlihat jernih.

"Kalau sudah jernih, baru dimanfaatkan untuk memasak. Ini terpaksa dilakukan, karena semua sumber air di sumur-sumur warga di desa ini sudah kering," ujar Maryati di Sampang seperti dikutip dari Antara, Rabu (25/7).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Di satu sisi, sungai yang dikonsumsi warga sebagai air bersih itu ternyata dimanfaatkan pula untuk kebutuhan lain seperti mencuci pakaian, mandi, bahkan membuang air besar.

"Yang penting kotorannya tidak kelihatan. Yah, mau bagaimana lagi, kami memang sudah terbiasa seperti itu setiap kemarau," ujar warga lainnya, Sayuti.

Desa Jelgung, merupakan satu dari puluhan desa di Kabupaten Sampang, Madura, yang rawan kekeringan dan kekurangan air bersih saat kemarau tiba. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sampang mendata sedikitnya 42 desa di 10 kecamatan di sana rawan kekeringan dan kekurangan air bersih.

"Yang parah di dua kecamatan, yakni Kecamatan Sreseh dan Kecamatan Robatal," ujar Kepala BPBD Sampang Anang Djoenaidi.

Untuk mengatasi itu, ia mengaku sudah berkoordinasi dengan pihak dan dinas terkait termasuk BNPB untuk menolong dan mendistribusikan bantuan air bersih.

Kemarau Sebabkan Kekeringan, Air Sungai Keruh Jadi PilihanWarga beraktivitas di area Waduk Botok yang mengering kawasan Kedawung, Sragen, Jawa Tengah, Jumat (20/7). Kondisi waduk tersebut mengering akibat musim kemarau dan mengancam 2.488 hektar lahan pertanian di 13 desa daerah irigasi Waduk Botok. (ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha)


9.000 Hektare Sawah Kekeringan di Jabar

Sementara itu, di Jawa Barat, seluas 9.311 hektare lahan sawah di provinsi tersebut terancam kekeringan pada musim kemarau ini. Bahkan, ujar Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura, Hendy Jatnika menyatakan ada 406 hektare yang mengalami puso.

"Jadi berdasarkan laporan per 17 Juli 2018, tercatat luas lahan yang terdampak kemarau mencapai 9.311 hektare. Adapun rinciannya kondisi ringan 5.460 hektare, sedang 2.610 hektare dan berat 835 hektare," kata Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Jawa Barat Hendy Jatnika di Bandung, Senin (23/7).

Hendy menerangkan lahan yang terbanyak alami puso ada di Kabupaten Indramayu (100 hektare), Kabupaten Garut (92 hektare), dan Kabupaten Ciamis (77 Hektare).

"Hingga saat ini memang tengah memasuki musim kemarau sehingga debit hujan sudah berkurang, terhitung Juli, Agustus, dan September," kata Hendy.

Ia mengatakan untuk mengatasi masalah lahan yang terdampak kekeringan, pihaknya telah menyiapkan pompanisasi bagi lahan yang masih punya potensi air. Sejumlah alat pompa sudah lama disebar ke dinas terkait di kabupaten/kota.

"Tinggal digerakkan petugas di lapangan dan TNI. Tapi kadang kendalanya adalah bahan bakar," kata dia.

Kemarau Sebabkan Kekeringan, Air Sungai Keruh Jadi PilihanAnalisis BMKG hari tanpa hujan Indonesia per 20 Juli 2018 (Dok. BMKG)

Dihubungi terpisah Kepala Bagian Humas Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Hary Tjatmiko memaparkan data wilayah dengan curah hujan yang rendah (kurang dari 50 mm).

Tempat-tempat itu adalah sebagian besar Sumatra bagian selatan, Kalimantan bagian selatan dan Kalimantan bagian timur, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara bagian selatan, Sulawesi Tengah bagian utara, Gorontalo dan Sulawesi bagian utara.

"Kemudian Jawa, Bali, Nusa Tenggara, sebagian Maluku Utara, bagian selatan Papua Barat, dan Papua sekitar Merauke," demikian keternagan CNNIndonesia.com dari Hary yang diterima lewat aplikasi pesan Whatsapp, Rabu (25/7).

Lalu, untuk Hari Tanpa Hujan (HTH) ekstrem yang lebih dari 60 hari tertinggi terjadi di wilayah Jerowaru, Nusa Tenggara Barat yakni 117 hari. Kemudian Sambirenteng/Gretek, Bali (112 hari), dan Ijen, Jawa Timur (111 hari).

'Sifat hujan pada Dasarian II Juli 2018 bervariasi bawah normal-atas normal. Sifat hujan bawah normal terjadi di Aceh, Sumut, Bengkulu, Sumsel, Babel, Lampung, Banten, DKI, Jabar, Jatim, Bali, NTB, NTT, Kalbar, Kalteng, Kalsel, Kaltim, dan Sulawesi,' demikian analisis curah dan sifat hujan dasarian II Juli 2018 BMKG yang diberikan Hary.

Data analisis BMKG itu merupakan hasil pemutakhiran pada 20 Juli 2018. Selanjutnya, BMKG akan memutakhirkan data pada 31 Juli 2018.

(antara)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER