Jakarta, CNN Indonesia --
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) akan membangun pusat penelitian
hiu paus di
Papua. KLHK menganggarkan puluhan miliar untuk pembangunan 'Whale Shark Center' itu.
"Sebentar lagi kita akan punya Whale Shark Center di Taman Teluk Cendrawasih salah satunya," kata
Direktur Jendral Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Wiratno di International Conference on Biodiversity, Ecotourism and Creative Economy (ICBE) Manokwari, Senin (8/10).
Wiratno menjelaskan Whale Shark Center itu bakal dibangun di atas tanah seluas 1,4 juta hektare. Pembangunan ini, kata dia, telah dianggarkan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami anggarkan Rp33 miliar untuk sarana dan prasarana sanctuary dan habitat hiu paus," jelas dia.
Pemerintah juga akan mengajak sejumlah pihak kerjasama untuk pengembangan pembangunan ini. Satu diantaranya adalah lembaga non profit World Wildlife Fund (WWF).
Tak hanya itu, pemerintah juga akan menggandeng masyarakat sekitar untuk turut berkontribusi. Whale Shark Center ini diharapkan bisa berdampak dari segi ekonomi untuk masyarakat.
"Whale Shark Center ini dipadukan dengan community base eco-tourism. Dengan masyarakat harus mendapatkan manfaat sebagai pelaku utama dan dilibatkan oleh
local leader," kata dia.
Anggaran Konservasi Provinsi Papua dan Papua Barat telah dicanangkan sebagai provinsi untuk pulau dengan hutan konservasi. Untuk melakukan konservasi sumber daya alam (SDA) itu, Papua melibatkan sejumlah masyarakat Papua yang tinggal di pedalaman hutan.
Asisten II Bidang Perekonomian Dan Kesejahteraan Rakyat Sekretaris Daerah Provinsi Papua Noak Kapisa mengatakan pihaknya menunggu pemerintah untuk memberikan insentif fiskal untuk rakyat atas pengelolaan tersebut.
"Saya kira kami dari Papua saya menunggu insentif fiskal dari pemerintah. Tapi sambil menunggu insentif fiskal kami akan tetap menjaga sumber daya alam kami," kata Noak di International Conference on Biodiversity, Ecotourism and Creative Economy (ICBE) Manokwari, Senin (8/10).
Noak menceritakan Papua dan Papua Barat sudah 'kenyang' bekerjasama yang dilakukan dengan sejumlah pihak mulai dari pemerintah hingga dengan organisasi lingkungan. Namun, kata dia, Papua juga butuh didukung di bidang penganggaran.
"Ini tentu diikuti dengan kebijakan penganggaran. Kita banyak MOU ujungnya harus memikirkan ecological insentif," terang dia.
"Paling tidak untuk anggaran soal hutan dikasih insentif bisa dari Dana Alokasi Khusus dan Dana Alokasi Umum (DAU)," lanjut dia.
Menanggapi permintaan itu, Wiratno menyatakan pihaknya sedang menggodok peraturan menteri (Permen) soal konservasi di sejumlah daerah termasuk Papua dan Papua Barat.
"KLHK bisa mendorong mungkin nantinya mendampingi pengembangan hutan, pendampingan teknikal dan policy support membangun mengelola hutan tanpa menebang," terang dia.
Insentif fiskal, menurutnya, juga bisa didapat dari pengembangan ekologi dengan berbasis eco-tourism. Masyarakat bisa dilibatkan menjadi subjek dalam pengembang eco-tourism.
Wiratno menjelaskan pemerintah melalui kementerian lain bisa memberikan dukungan dengan pemenuhan fasilitas pendidikan hingga kesehatan. Bagi masyarkat yang benar-benar menjaga hutan harus diberikan pelayanan terbaik sebagai bentuk timbal balik kontribusi.
"Saya kira dengan Bappenas idenya mestinya adalah kabupaten konservasi harus mendapatkan banyak policy insentif sampai previllage, pendidikan terbaik hingga kesehatan terbaik," kata dia.
Berdasarkan data dari lembaga lingkungan hidup Eco Nusa, Papua dan Papua Barat memiliki hutan seluas 25.030.659,05 hektare. Dalam pengembangannya, hutan itu dijadikan dikelola oleh perusahaan sebanyak 523.792,70 hektare.
Hutan diisi dengan perkebunan sawit hingga perkebunan seperti buah dan umbi-umbian. Adapula sekitar 20 desa yang wilayahnya bersinggungan dengan wilayah hutan konservasi tersebut.
(ugo/ctr)