Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- "
Why are we nation?" tanya David Herbert Lawrence, seorang pujangga, pada menantu Perdana Menteri Inggris suatu hari di tahun 1915.
Bangsa adalah sebuah komunitas politik imajiner alias khayalan, menurut Benedict Anderson dalam bukunya
Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism.
Sebagian besar anggotanya--bahkan dalam sebuah negara terkecil sekalipun--tidak pernah bertemu, berbincang, terlebih saling mengenal dengan anggota lainnya, tapi tetap merasa terikat satu dengan yang lain.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rasa keterikatan individu sebagai bagian dari suatu bangsa itulah yang kita sebut sebagai "nasionalisme", demikian menurut Khalid Manzoor, dalam
Nation, Nation-State, and Nationalism: Evaluating Janus Face of Nationalism.
Elemen-elemen peradaban, termasuk Negara, mata uang, dan nasionalisme, pada dasarnya merupakan-sekaligus dibentuk oleh-apa yang disebut Yuval Noah Harari --penulis
A Brief History of Humankind: Sapiens-- sebagai "mitos bersama" ("
shared myth"), yakni sebuah fiksi atau kisah yang diceritakan untuk mengarahkan manusia pada satu persepsi yang sama dan hidup menurut persepsi itu.
Seperti yang kita rayakan Minggu kemarin, Sumpah Pemuda. Sebuah fiksi yang mengisahkan bahwa kita bertumpah darah satu, berbangsa satu, dan menjunjung bahasa yang satu, yakni Indonesia.
Sekelompok orang menggaungkan fiksi itu di tahun 1928, disebarkan dan diturunkan dari generasi ke generasi, dan hingga hari ini, ratusan juta orang ikut mengimaninya. Begitulah nasionalisme dibangun dan dipertahankan, dari satu fiksi ke fiksi lainnya, mengukuhkan satu bangsa dan bangsa lainnya.
Secara alami, manusia tidak mengenal konsep nasionalisme. Menurut Harari, meskipun manusia adalah hewan sosial yang punya kecenderungan genetik membangun loyalitas pada kelompoknya, selama ratusan ribu tahun, Homo sapiens dan leluhurnya hidup hanya dalam kelompok beranggotakan beberapa lusin orang.
Manusia bisa dengan mudah loyal dalam kelompok kecil yang intim, seperti keluarga, suku, bisnis keluarga, tapi tidak dengan jutaan orang asing seperti dalam sebuah bangsa.
Oleh karena itu, harus ada usaha konstruksi sosial yang luar biasa dan berkelanjutan dari zaman ke zaman untuk membuat nasionalisme itu tegak-melalui banyak cara, antara lain ikut serta dalam ajang olah raga seperti Asian Games dan Piala Dunia, serta menyebarkan berita Joey Alexander meraih Grammy dan Joe Taslim main film di Hollywood.
Layaknya keberlangsungan hidup spesies di alam, lestarinya sebuah fiksi peradaban--salah satunya nasionalisme--juga ditentukan kemampuannya beradaptasi.
Lalu, bagaimana nasib nasionalisme di zaman ini?
Generasi kini, dengan informasi yang melimpah, dapat dengan mudah memahami bahwa nasionalisme pada dasarnya adalah sebuah fiksi yang membangun partisi (pemisahan) antar manusia; menjadi "kita" dan "mereka", "bangsa kami" dan "bukan bangsa kami" (seperti yang dikemukakan Fukuyama, 1992 dan Halliday, 1994).
Nasionalisme di satu sisi memang membawa orang-orang dari keragaman kecil bersatu ke dalam satu bundelan besar kebangsaan, tapi pada saat yang sama juga memisahkan mereka dari bangsa-bangsa lain yang terdiri atas manusia juga.
Begitu pula dalam hal perasaan cinta dan asimilasi terhadap sesama yang ditumbuhkan oleh nasionalisme, pada saat yang sama menjadi rusak akibat adanya tendensi membenci, memusuhi, dan sikap intoleran terhadap orang-orang dari bangsa yang berbeda, menurut Manzoor.
Berulang kali dalam sejarah, nasionalisme telah menjadi bumbu utama terjadinya konflik, pembantaian etnis, genosida, dan perang berkepanjangan yang telah membunuh jutaan manusia. Dengan membuat klaim absolut atas suatu wilayah yang dipertahankan
at all cost (dengan segala daya upaya yang ada!), menurut Fred Haliday dalam buku
Rethinking International Relations, nasionalisme menjadi konsep yang problematik untuk peradaban di zaman modern.
Bagi saya, seorang WNI yang tergolong milenial, nasionalisme memang sudah tidak relevan lagi. Ia tidak lagi eksotik seperti di masa ketika bangsa-bangsa saling menjajah satu sama lain, sehingga manusia perlu merasa terikat untuk bersatu dan rela mati demi mempertahankan tanahnya.
Semestinya, setelah manusia mau berkomitmen dengan Non-Aggression Principle (NAP), sekat-sekat antar bangsa bisa dihapuskan saja, dan umat manusia membangun sebuah solidaritas global antar sesama manusia.
Pandangan ini ternyata bukan hanya dimiliki oleh saya seorang diri. Sebuah survei garapan Western Union yang melibatkan 10 ribu lebih milenial (kelahiran 1980-1995) dari 15 negara, termasuk Amerika, India, dan Rusia, menunjukkan sebagian besar milenial berpikir demikian.
Delapan dari sepuluh milenial memandang nasionalisme sebagai konsep yang ketinggalan zaman. Milenial lebih menyukai konsep kewarganegaraan global.
Sebenarnya, pandangan ini sama sekali bukan hal baru. Sejumlah pemikir, antara lain Phillip Spencer dan Howard Wollman dalam bukunya
Nationalism: A Critical Introduction, memandang konsep nasionalisme ketinggalan zaman dan menawarkan konsep kosmopolitanisme. Konsep ini adalah nama lain dari kewarganegaraan global yang menolak membagi manusia ke dalam sekat-sekat sosial yang selama ini kita kenal.
Teoris kosmopolitanisme percaya bahwa tatanan sosial yang harus kita kembangkan sekarang adalah sebuah pemerintahan konstitusional yang terbuka untuk semua, bukan hanya untuk komunitas tertentu, yang berkomitmen melindungi dan menegakkan Hak Asasi Manusia, dan optimalisasi pengelolaan sumber daya untuk pemenuhan kebutuhan bagi seluruh manusia tanpa terkecuali.
Kosmopolitanisme ini, selain dapat mengarahkan kita menuju peradaban berbasis nilai-nilai kemanusiaan universal, juga dapat membentuk sistem pemenuhan kebutuhan hidup yang lebih baik (efektif dan efisien), karena skala produksi menjadi sangat besar dan manusia bisa lebih bebas bertukar barang dan jasa tanpa terkena berbagai macam ongkos akibat barrier negara, bangsa, dan bahasa.
Survei Western Union juga menyebutkan, 70% milenial melihat pentingnya kewarganegaraan global dari sudut pandang keuntungan ekonomi.
Fiksi-fiksi baru yang mendorong konsep kosmopolitanisme sudah bermunculan; termasuk korporasi raksasa global (seperti Google dan Facebook), lapak dagang lintas negara (seperti Amazon dan Alibaba), cryptocurrency, dan lain sebagainya.
Apakah masih ada alasan untuk kita melakukan upaya mempertahankan konsep nasionalisme, bangsa, dan negara?
Saya pikir kita semua bisa memiliki jawaban yang berbeda, sesuai situasi kartu kita masing-masing-yang menjadi penentu aturan bermain mana yang lebih menguntungkan.
(vws)