Jakarta, CNN Indonesia --
Komnas Perempuan menyebut masih banyak kebijakan diskriminatif terhadap
perempuan yang terbit di hampir semua wilayah di Indonesia. Kebijakan tersebut dianggap menekan kebebasan perempuan di ruang publik.
Anggota Komnas Perempuan Magdalena Sitorus mencatat ada 421 peraturan daerah (perda) diskriminatif terhadap perempuan yang terbit sejak 2009. Pada tahun ini, kata dia, mereka menemukan setidaknya 5-10 peraturan muncul dengan napas serupa.
Magdalena mencontohkan perda yang melarang perempuan tidak keluar pada malam hari atau mengatur cara berpakaian perempuan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perda yang dinilai merugikan kaum hawa ini ditemukan di Tangerang dan Aceh. Magdalena berpendapat perda demikian tak hanya mengekang kebebasan perempuan namun juga berpotensi menghakimi tanpa kompromi.
"Banyak juga perempuan keluar malam karena bekerja sebagai bidan. Di Jakarta pun banyak pedagang yang dari tengah malam berjualan ke pasar," kata Magdalena saat ditemui di kantor Komnas HAM beberapa waktu lalu.
Ia juga mengambil contoh aturan yang diberlakukan oleh Pemerintah Kabupaten Bireuen, Aceh, yang ditandangani oleh Bupati Saiffanur pada 30 Agustus 2018. Salah satu butir peraturan itu melarang perempuan dan pria duduk semeja kecuali dengan suami atau keluarganya.
"Kan enggak selalu kalau duduk bersama itu pikirannya mesum," kata dia.
Komnas Perempuan menilai perda-perda bermasalah itu sama sekali tak sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Padahal, kata dia, penyusunan setiap perda harusnya koheren dengan peraturan di atasnya.
"Bahwa perda enggak boleh melangkahi peraturan yang sifatnya nasional, yang nasional enggak boleh melangkahi UUD 1945 dan Konstitusi. Seringkali daerah tidak mengacu itu," tegasnya.
Sementara itu Direktur Yayasan Pusat Pendidikan untuk Anak dan Perempuan (PUPA) Susi Handayani mendesak agar pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual segera disahkan DPR. Undang-undang ini dinilai bisa melindungi hak-hak perempuan, termasuk hak anak-anak.
"Tren kekerasan seksual yang terus bertambah sehingga perlu ada payung hukum berupa UU Penghapusan Kekerasan Seksual. Apalagi, sejak awal tahun 2018 hingga sekarang telah terjadi 113 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak," kata Susi seperti dilansir dari
Antara.Menurutnya, pengesahan RUU Pengahapusan Kekerasan Seksual berguna untuk memutus mata rantai kekerasan seksual dan memulihkan psikologis korban.
Berdasarkan catatan Yayasan PUPA, pelaku kekerasan seksual bisa dari orang yang tidak dikenal maupun orang yang baru dikenal.
Kasus kekerasan seksual kian diperparah dengan perspektif masyarakat yang tidak melindungi korban, bahkan cenderung menyalahkan korban.
Menurut Susi, stigmatisasi masyarakat yang masih menyalahkan kondisi korban menjadi alasan banyaknya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang belum tertangani secara optimal.
"Selain pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, penting juga untuk membangun mekanisme perlindungan berbasis komunitas dan sekolah," kata Susi.
(ain/bin/sur)