Jakarta, CNN Indonesia --
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyatakan
hukuman mati menjadi alat politik rezim Presiden Joko Widodo untuk memantau dukungan masyarakat terhadap pemerintah.
"Hukuman mati ini sering kali dijadikan sebagai alat politik oleh negara untuk melihat dukungan masyarakat," ujar Kepala Divisi Pembelaan HAM Raden Arif Nur Fikri di Kantor KontraS, Jakarta, Senin (10/12).
Arif mengatakan hukuman mati sebagai alat politik dapat dinilai lewat meluasnya jerat pasal dalam RKUHP yang menyangkut hukuman mati dan keengganan pemerintah Jokowi untuk melakukan moratorium hukuman mati.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hukuman mati sebagai alat politik, kata dia, juga tercermin dari eksekusi mati gelombang I-III di era Jokowi. Ia menyebut Jokowi mengatasnamakan ketegasan dalam menjalankan hukum sebagai dasar untuk melaksanakan eksekusi mati.
Selain itu, KontraS mencatat vonis hukuman mati dalam 21 kasus sepanjang tahun 2018.
"Kami melihat vonis penjatuhan hukuman mati ini sebenarnya tidak bisa dikatakan berdiri sendiri karena dari beberapa data yang kami lihat itu justru angkanya meningkat di bulan September dan Okotober karena ada pernyataan-pernyataan politik yang disampaikan pemerintah," ujarnya.
Di sisi lain, Arif menyebut hukuman mati itu dilakukan saat sistem peradilan pidana dan aparat penegak hukum di Indonesia masih buruk. Hal itu, kata dia, tercermin dalam hukuman mati terhadap eks terpidana mati kasus pembunuhan Yusman Telaumbanua, dan terpidana mati kasus narkoba Zulfiqar Ali dan Rodrigo Gularte.
"Beberapa contoh kasus di atas sebenarnya bisa dijadikan proses pembelajaran oleh pemerintah jika memang ingin berkomitmen dan serius dalam proses moratorium hukuman mati," ujarnya.
Sementara itu, Arif juga menilai penyidik, jaksa, dan hakim enggan maksimal dalam proses penanganan perkara. Dalam konteks penyidikan, misalnya, penyidik kerap memutus mata rantai proses penyidikan dan hanya sebatas melakukan penangkapan terhadap para pelaku-pelaku di lapangan. Tak hanya itu, ia berkata penyidik mengabaikan hak-hak tersangka.
"Sementara dalam konteks putusan hakim terhadap terdakwa hukuman mati kerap terlihat
copy paste. Dan kerap kami menduga penjatuhan vonis mati yang dilakukan hakim terlihat tidak independen," ujar Arif.
(jps/arh)