Jakarta, CNN Indonesia -- Program
Revolusi Mental pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla disebut gagal dalam membentuk perilaku elite politik dan birokrat. Kasus-kasus korupsi jadi indikatornya. Namun, ada komitmen dari pihak
petahana untuk menggarap program itu lebih dalam untuk membentuk SDM berkualitas premium.
Jokowi, sejak masa kampanye Pilpres 2014, menekankan pembenahan SDM lewat program Revolusi Mental. Fokusnya adalah mengubah karakter manusia Indonesia, baik di tingkat elite politik, birokrat, maupun rakyat.
Untuk pelaksanaan program itu, Jokowi meneken Instruksi Presiden Nomor 12 Tahun 2016 tentang Gerakan Nasional Revolusi Mental. Dalam Inpres itu, Jokowi menekankan pada lima program, yakni gerakan Indonesia melayani, gerakan Indonesia bersih, gerakan Indonesia tertib, gerakan Indonesia mandiri, dan gerakan Indonesia bersatu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Program itu dikoordinasikan oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani.
Namun seiring dengan berjalannya waktu, program ini dinilai kurang berjalan. Pemerintahan Jokowi-JK malah dikenal kebut membangun fisik yakni infrastruktur.
Dalam debat cawapres 2019, Minggu (17/3), cawapres nomor urut 01 Ma'ruf Amin mengatakan strategi nasional pemerintah saat ini menitik beratkan pada pembangunan infrastruktur dan akan digeser ke pembangunan sumber daya manusia.
 Cawapres Ma'ruf Amin (kiri) menyebut pihaknya akan berfokus dalam pembangunan SDM jika menang di Pilpres 2019. ( CNN Indonesia/Andry Novelino) |
"Kami juga akan melakukan pergeseran strategi nasional dari semula titik beratnya infrastruktur ke pembangunan sumber daya manusia," kata Ma'ruf.
Senada, Jokowi, yang merupakan capres petahana, mengaku akan fokus membentuk SDM dengan kualitas premium jika terpilih untuk periode kedua. Bentuknya, meningkatkan dana abadi pendidikan serta dana abadi penelitian dan pengembangan.
"Saya optimis maju, saya optimis setara. Dengan SDM premium, saya optimis generasi muda dan milenial akan mampu bersaing dan eksis di dalam kompetisi global," kata Jokowi saat pidato kebangsaan di Konvensi Rakyat beberapa waktu lalu.
Pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komarudin menilai program Revolusi Mental memang belum menunjukkan hasil berupa perubahan diri elite politik, pejabat birokrat, maupun masyarakat selama ini.
Menurutnya, Revolusi Mental ala Jokowi ingin menghilangkan perilaku korup para elite politik maupun pejabat berupa kecenderungan memilih jalan pintas untuk mendapatkan posisi, tak mau bersaing dengan jujur, hingga rasa malas untuk berbuat sesuatu.
"Dalam konteks ini, ini masih banyak kelemahan, masih banyak kekurangan, oleh karena itu harus dipadukan dengan pembangunan sumber daya manusia," kata Ujang kepada
CNNIndonesia.com, Senin (18/3).
 Moda Raya Terpadu/Mass Rapid Transit (MRT), salah satu hasil pembangunan infrastruktur era Jokowi. ( CNN Indonesia/Safir Makki) |
Ujang menyebut salah satu contoh Revolusi Mental belum berjalan adalah Operasi Tangkap Tangan KPK terhadap eks Ketua Umum PPP yang juga anggota DPR Romahurmuzy alias Romi dalam kasus jual beli jabatan di Kementerian Agama. Sementara, PPP merupakan partai pendukung Jokowi-JK dan memiliki kursi di Kabinet Kerja.
"Kami melihat dan memandang bahwa kasus tersebut menjadi salah satu bukti bahwa Revolusi Mental masih belum berjalan, masih belum bergerak, ini sebagai bagian dari pada kritik kita terhadap Revolusi Mental," kata Ujang.
Ujang mengatakan Jokowi mesti melanjutkan program Revolusi Mental ini, berjalan seirama dengan fokus dalam membangun SDM yang unggul. Di sisi lain, lanjut Ujang, Revolusi Mental harus dievaluasi agar program tersebut menjadi terarah.
"Tidak boleh parsial, tidak boleh terputus, sehingga program itu berkesinambungan. Jika program lima tahun putus, lima tahun putus, kapan bangsa ini bisa membangun, kapan bangsa ini bisa maju?" ujarnya.
[Gambas:Video CNN]
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Padjadjaran Yogi Suprayogi menyatakanRevolusi Mental yang digagas
Jokowi gagal. Contohnya, masyarakat terbelah karena perbedaan politik seperti yang tampak di media sosial.
"Secara tidak langsung kan Revolusi Mental ini tidak berhasil sebetulnya," kata dia kepada
CNNIndonesia.com.
Yogi berpendapat kegagalan kebijakan Revolusi Mental dalam membentuk kedewasaan berpolitik masyarakat akan mengancam keberlangsungan demokrasi. Ia menyebut kondisi ini menjadi pekerjaan rumah, baik bagi Jokowi maupun Prabowo.
Baginya, siapa pun yang menang dalam Pilpres 2019 harus bisa merangkul pasangan lain untuk bersama-sama membangun Indonesia.
"Menurut saya alangkah baiknya dalam debat terakhir Pak Prabowo atau Pak Jokowi menyampaikan masalah perdamaian, masalah rekonsiliasi, kita satu bangsa. Bagusnya ada satu imbauan, misalnya satu kalah akan meraih yang lain," ujarnya.
 Dua kandidat capres di pemilu 2019, Prabowo Subianto dan Joko Widodo. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Revolusi Mental Jilid IIJuru Kampanye Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf, Budiman Sudjatmiko, menyebut Revolusi Mental sudah berjalan dalam periode pertama Jokowi meski fokus pembangunan pemerintah ada pada infrastruktur.
Menurutnya, pembangunan yang lancar selama 4,5 tahun ini membuktikan dampak dari Revolusi Mental. Sebelum pemerintahan Jokowi-JK, kata dia, banyak proyek infrastruktur yang terbengkalai. Di era Jokowi, satu per satu proyek infrastruktur bisa dikerjakan dan diselesaikan.
"Itu adalah implikasi, dampak dari Revolusi Mental, di mana birokrasi kita, proyek pembangunan kita yang lama terbengkalai, itu karena banyak muncul mental-mental amtenar (pegawai pemerintah), mental-mental korup, mental-mental pejabat yang ingin dilayani," kata Budiman kepada
CNNIndonesia.com.
Budiman mengatakan Jokowi-Ma'ruf akan melanjutkan program ini menjadi Revolusi Mental jilid II. Fokusnya adalah mencetak manusia inovatif yang bukan sekedar bekerja dan taat pada jadwal, tetapi berpikir di luar kebiasaan, baik di level birokrasi, profesional maupun komunitas masyarakat.
"Revolusi Mental besok adalah menciptakan pejabat birokrat dan seluruh manusia Indonesia, menjadi pejabat dan manusia yang inovatif untuk menyongsong revolusi 4.0," ujar Budiman.
Politikus PDIP ini menyadari pada periode pertama Jokowi masih banyak elite pejabat yang menjalankan cara berpolitik dan bisnis dengan tidak benar. Namun, penangkapan dan penetapan Romi sebagai tersangka justru menunjukkan berjalannya Revolusi Mental.
 Politikus PDIP Budiman Sudjatmiko. ( Christie Stefanie) |
"Penangkapan Romi menurut saya menunjukkan bahwa setiap orang bisa terkena Revolusi Mental ini, salah satunya penegakan korupsi," ujar dia.
Lebih lanjut, Budiman menyatakan pemerintah masih memiliki pekerjaan rumah yang besar untuk diselesaikan. Budiman menyebut penerapan Revolusi Mental tak bisa dilakukan hanya dalam satu periode.
"Kita enggak bisa memperbaiki sesuatu dalam semalam atau dalam waktu singkat, harus terus menerus. Bahwa masih ada yang tertangkap karena korupsi menunjukkan bahwa upaya ini tidak main-main," katanya.
[Gambas:Video CNN]