Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Dua hari setelah pencoblosan
Pemilu 2019, lewat sambungan telepon, ibu terdengar cemas karena hasil
quick count di televisi yang semuanya memenangkan pasangan calon nomor urut 01
Joko Widodo-Ma'ruf Amin. Dia kemudian memutuskan tak lagi menonton televisi karena menolak percaya dengan hasil hitung cepat.
Ibu juga bicara soal sejumlah isu yang menyebar lewat grup percakapan Whatsapp membuatnya enggan berpihak pada paslon tertentu. Misalnya, isu Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman umrah bareng Jokowi jelang hari pencoblosan; kriminalisasi terhadap Abu Bakar Baasyir dan Bahar bin Smith, tanpa tahu latar belakang kasusnya.
Saya membantu menerangkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk isu pertama, berdasarkan data Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), pria berambut putih yang umrah bareng Jokowi adalah Unsil Habib, penerjemah yang juga staf senior Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Riyadh, Arab Saudi. Dari wajahnya jelas beda dengan Arief Budiman.
Soal Baasyir dan Bahar Smith, saya jelaskan soal runutan kasusnya, yakni terorisme dan penganiayaan, yang sudah divonis jauh-jauh hari dan satunya sedang disidangkan.
Usai penjelasan itu, ibu tetap berkukuh bahwa salah satu capres tak layak sambil bilang, "Pokoknya banyaklah yang mengesalkan, sedikit-sedikit tapi banyak."
Dan banyak lagi info tak jelas sumbernya yang kebanyakan didapat dari grup percakapan keluarga.
Bukan cuma di era Pemilu 2018, fenomena penyebaran kabar tak jelas sumbernya di grup percakapan sudah terjadi sejak bertahun-tahun lalu, terutama sejak Pilkada DKI Jakarta 2017.
Dan kini, isu yang beredar adalah seputar kecurangan pemilu, jihad, perjuangan sampai titik darah penghabisan lewat aksi massa di depan gedung KPU, Rabu (22/5) lalu.
 Ketua KPU Arief Budiman. (Foto: CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Selain serbuan pesan secara
online, pesan-pesan secara
offline atau di dunia nyata pun ditebar. Misalnya, capres Prabowo berulangkali menebar ketidakpercayaan pada media arus utama, pemerintah, quick count, KPU, dan hal-hal berbau asing.
Amien Rais menggaungkan gerakan 'people power'. Akun-akun medsos pendukung paslon tertentu pun rutin menyerempet sentimen SARA, China, kafir.
Dan lahir lah duet maut: serangan hoaks di dunia maya, dengan serbuan pesimisme terhadap institusi resmi di dunia nyata.
Maka tak salah jika kita menyebut 2019 sebagai tahunnya hoaks, propaganda
firehose of falsehood (semburan dusta), politik identitas alias SARA, hingga
post-truth.
Nahasnya, isu-isu itu dipercaya banyak warga, baik ulama, intelek, maupun kalangan berpendidikan seadanya, tanpa dibantah, tanpa cek dan ricek.
Pada 2016, Christopher Paul dan Miriam Matthews dari Rand Corporation mengemukakan istilah
firehose of falsehood (FoF) usai kampanye pencaplokan Semenanjung Krimea oleh Rusia, 2014.
Pada prinsipnya, FoF ini memiliki ciri suara yang berisik atau pesan yang bising; berulang, terus-menerus, dan lewat banyak saluran; tak punya kesetiaan pada objektivitas; tidak konsisten.
Strategi ini kemudian disebut sukses mengantarkan Trump menang di Pilpres Amerika Serikat pada 2016, Brexit di Inggris 2016, Bolsonaro di Pilpres Brasil 2018.
Sejumlah pakar menilai strategi yang sama coba diterapkan di Indonesia. Cirinya kentara; isu di Whatsapp beredar berulang tanpa kejelasan sumber dan kepakaran, tak objektif, dan tidak konsisten.
Meskipun, sulit untuk dibuktikan penyebar hoaks itu adalah kubu paslon tertentu.
Kemunculan FoF ini tak jauh dengan post-truth. Misalnya, seperti yang dikemukakan Ralph Keyes dalam buku
The Post-truth Era-Dishonesty and Deception in Contemporary Life, 2004.
Nah, tak heran jika sebagian masyarakat yang membaca dan melihat hoaks-hoaks itu setiap hari lama-lama akan terpengaruh. Pihak yang diserang dalam hoaks itu, utamanya penguasa, pun pelan-pelan jadi antagonis dengan 'kejahatan-kejahatan' yang perlahan menumpuk.
Ini hal yang disebut ibu saya sebagai "mengesalkan, sedikit-sedikit tapi banyak".
Keyakinan SemuSayangnya, sebagian warga terhipnosis oleh serbuan dusta itu dan telanjur bergerak membela mati-matian. Misalnya, mendesak diskualifikasi paslon tertentu lewat demo ricuh, bukan lewat jalur resmi.
Mereka bahkan mengklaim sudah siap mati syahid. Takbir diteriakkan.
Pertanyaannya, apa ini jihad, laiknya Perang Badar saat pasukan nabi melawan kafir Quraisy? Atau sekadar menganggap negara hasil kesepakatan ini merupakan sistem kafir? Apakah ada keyakinan yang logis, bukan semu karena membaca rangkaian hoaks, di balik pembelaan itu?
Jika memang ada kecurangan, toh itu mesti dibuktikan dulu. Sementara, pembuktian di Mahkamah Konstitusi (MK) bukan perkara gampang.
KPU sudah menyelesaikan rekapitulasi suara nasional Pilpres 2019. Hasilnya tak beda dengan quick count yang di-bully oleh kubu tertentu itu. Di saat yang sama, kubu oposisi dijerat dengan pasal makar.
Mungkin memang ada upaya kriminalisasi demi strategi pengamanan. Namun, tak layak rasanya jihad dan mati syahid demi tujuan duniawi para politikus pragmatis.
 Aksi di depan Bawaslu yang diduga berkaitan dengan hasil Pilpres. (Foto: CNN Indonesia/Andry Novelino) |
Memang, tak ada obat untuk korban hoaks menahun.
Yang ada cuma usaha untuk membuka diri pada logika, melepaskan nafsu politiknya dalam memenangkan calon tertentu, tanamkan sikap adil dan skeptis, dan mendapatkan penjelasan satu-persatu soal benar atau tidaknya info yang didapat dari grup Whatsapp itu.
Jika sudah berusaha memperingatkan secara lembut hingga keras namun gagal, mari bersilaturahmi di dunia nyata saja, dan tinggalkan yang maya. Lebaran sebentar lagi.
[Gambas:Video CNN] (asa)