Jakarta, CNN Indonesia -- Usai pasangan
Joko Widodo-Ma'ruf Amin ditetapkan sebagai pemenang
Pilpres 2019, kini elite partai politik sibuk membahas rekonsiliasi politik. Namun upaya rekonsiliasi yang seharusnya bertujuan untuk menghentikan konflik akibat pemilu malah terlihat sebaliknya.
Elite parpol baik di kubu Jokowi-Ma'ruf ataupun oposisi
Prabowo Suianto-Sandiaga Uno justru dinilai memaknai rekonsiliasi itu sebagai upaya meraup 'kue' kekuasaan alias bagi-bagi kursi.
Upaya berebut kursi di pemerintahan lima tahun ke depan itu salah satunya tercermin dari pernyataan Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional (PAN), Amien Rais yang meminta dua syarat rekonsiliasi dengan kubu Jokowi-Ma'ruf.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Syarat pertama yang disampaikan Amien yakni ide-ide dari kubu Prabowo-Sandi yang harus diterima dan kedua pembagian kursi kekuasaan 55 banding 45.
Tak hanya itu, Amien bahkan menyebut apabila ada partai oposisi yang tetap nekat menyeberang ke koalisi pemerintah akan tetap menanggung dosa. Terlebih, jika itu hanya karena menerima tawaran satu kursi menteri.
"Sungguh aib kalau ada partai pendukung 02 tiba-tiba menyeberang hanya karena satu kursi
ecek-ecek, kemudian dosanya dua," kata mantan Ketua MPR itu.
Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Raharjo Jati menilai konsep rekonsiliasi yang ditawarkan Amien Rais hanya dijadikan sebagai kedok politik transaksional dimana ia atau kelompoknya ingin membidik jabatan tertentu di pemerintahan Jokowi.
"Intinya ada kedok politik transaksional dibalik syarat rekonsiliasi ala Amien Rais itu," kata Wasisto kepada
CNNIndonesia.com.
Wasisto mengatakan pernyataan Amien terkait semangat rekonsiliasi hanya sekadar kiasan semata. Ia mengatakan pernyataan itu justru makin menandakan politik transaksional sedang dimainkan oleh Amien sebagai prasyarat dengan kubu Jokowi.
"Itu bagian dari politik transaksional dimana rekonsiliasi sendiri hanya bermakna kiasan saja. Tidak ada makan siang gratis dalam politik praktis," kata dia.
Lebih lanjut, Wasisto sudah tak heran dengan adanya fenomena politik transaksional di Indonesia. Menurutnya, politik yang bernuansa transaksional merupakan salah satu patologi dari pelaksanaan demokrasi di Indonesia pasca reformasi.
Ia kemudian menjelaskan politik transaksional secara sederhana dimaknai sebagai pertukaran kepentingan dari berbagai pihak dengan tujuan agar tercipta adanya kesepakatan bersama.
Pertukaran kepentingan ini akan terjadi pada pihak yang sedang/akan berkuasa dengan pihak yang bersedia tunduk dalam kekuasaan. Ia mengatakan politik transaksional akan beriringan dengan adanya permintaan terkait posisi di jabatan publik
"Contohnya dengan syarat-syarat tertentu seperti [yang diminta] Pak Amien Rais ini, kursi 55:45," kata dia.
Wasisto menilai hal yang lumrah bila para elite politik lantas saling berburu posisi di jabatan publik usai gelaran pemilu selesai. Ia mengatakan posisi menteri atau pejabat setingkat menteri merupakan monumen pencapaian politik tersendiri bagi suatu parpol.
Tak hanya itu, Wasisto menambahkan jabatan menteri sendiri bisa berpengaruh signifikan pada elektabilitas bagi parpol bila kader yang ditempatkan menuai prestasi.
"Dengan kata lain, itu adalah investasi politik lima tahun ke depan karena bisa buka akses ke APBN dan publik lewat program kebijakan juga," tambahnya
Wasisto kemudian memprediksi para pendukung Amien Rais, terutama pada kelompok-kelompok berhaluan Islam akan banyak yang kecewa terhadap permintaannya tersebut.
Ia mengatakan para pendukungnya itu akan kecewa karena selama ini Amien konsentrasi memperjuangkan umat seperti membela imam besar Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab ketimbang tergoda dengan kursi kekuasaan
"Terutama dari kelompok 212 akan kecewa berat karena pada akhirnya Amien tidak konsisten soal pembelaan terhadap umat muslim dan kriminalisasi Habib Rizieq, malah justru tergoda kursi kekuasaan," kata dia.
Isyarat menaikkan posisi tawar Terpisah, pengamat politik Universitas Paramadina, Arif Sutanto menilai pernyataan rekonsiliasi 55:45 ala Amien Rais itu sebagai bagian syarat rekonsiliasi sebagai suatu upaya untuk menaikkan posisi tawar.
Secara personal, Arif menilai signifikansi peran politik Amien menurun usai pembubaran Koalisi Indonesia Adil Makmur Prabowo-Sandi. Secara kelembagaan, PAN juga tidak kunjung mampu menemukan kesepahaman untuk menjadi bagian pemerintah Jokowi-Ma'ruf.
"Tekanan lewat pernyataan keras Amien adalah juga bagian dari ambiguitas politik yang terus-menerus diidap PAN, antara berada di dalam atau di luar pemerintahan," kata Arif.
Lebih lanjut, Arif menyinggung ambiguitas perjalanan politik PAN Pada 2015 lalu. Kala itu, PAN menyeberang ke kubu Jokowi-JK setelah pada 2014 mengusung Prabowo-Hatta.
Akan tetapi, posisi politik PAN tidak selalu sejalan dengan pemerintah hingga mereka mengusung Prabowo-Sandi pada 2019.
"Ambiguitas semacam itu, termasuk pula perbedaan pandangan di antara pengurus yang disampaikan secara terbuka, memberi pesan yang membingungkan bagi pemilih PAN," kata dia.
Melihat hal itu, Arif menilai PAN sengaja menerapkan strategi untuk menekan pemerintahan Jokowi agar dapat bergabung dan kembali memperoleh 'kue kekuasaan'.
Akan tetapi, akomodasi PAN dalam pemerintahan sesungguhnya bergantung penerimaan anggota lain koalisi Jokowi-Ma'ruf itu sendiri.
"Harus dilihat juga prospek kerja sama dalam lima tahun ke depan, dan derajat
competitiveness partai maupun figur elite mereka pada 2024," kata Arif.
[Gambas:Video CNN] (rzr/dal)