Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)
Megawati Soekarnoputri bertemu dengan Ketua Umum Parta Gerindra,
Prabowo Subianto, Rabu (24/7). Mereka santap siang nasi goreng di kediaman Mega yang berlokasi di Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat.
Pertemuan mereka menjadi yang pertama usai pelaksanaan Pilpres 2019. Di kontestasi lima tahun sekali itu, Megawati dan Prabowo berbeda kubu. Megawati bersama PDIP mengusung Joko Widodo, yang terpilih kembali sebagai presiden. Sementara Prabowo maju sebagai lawannya Jokowi.
Sejatinya ini bukan pertemuan pertama sepanjang kurun beberapa tahun terakhir. Kedua petinggi partai itu pernah bersua di Asian Games 2018, tepatnya dalam pertandingan final cabang pencak silat yang berlangsung akhir Agustus tahun lalu. Tak hanya Megawati, Jokowi juga hadir ketika itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tiga bulan kemudian, tepatnya November 2018, Megawati juga sempat menyinggung hubungannya dengan Prabowo saat berbicara di hadapan kader PDIP. Ia menyatakan hubungan dengan putra Soemitro Djojohadikusumo itu baik-baik saja.
Putri Presiden ke-1 RI Sukarno itu menyebut tak pernah saling menjelekkan antara dirinya dan Prabowo.
Pertemuan Megawati dan Prabowo hari ini sarat kepentingan politik. Terutama usai Prabowo kalah dari Jokowi dalam Pilpres 2019.
Direktur Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Sirojuddin Abbas menilai pertemuan kedua tokoh ini tak terlepas dari kebutuhan Prabowo yang ingin memperbaiki hubungan dengan Megawati. Sejak Pilpres 2014 lalu komunikasi Megawati seakan 'terputus' dengan Prabowo.
Saat itu Megawati sudah berbeda pilihan politik lantaran memilih mengusung Jokowi sebagai calon presiden. Sedangkan Prabowo maju sebagai calon presiden berdampingan dengan Hatta Rajasa.
"Ada kebutuhan dari Pak Prabowo terutama untuk memperbaiki hubungan dengan Ibu Mega," kata Abbas saat berbincang dengan
CNNIndonesia.com, Selasa (23/7) malam.
Abbas menyebut hubungan baik yang sudah terjalin dengan Jokowi tak cukup bagi Prabowo bila Gerindra atau kerabatnya ingin punya pengaruh secara politik di pemerintahan kali ini. Untuk itu, Prabowo juga harus membuka komunikasi dengan Megawati.
Abbas mengatakan upaya Prabowo agar bisa menempatkan kader atau kerabatnya di lingkaran pemerintahan harus masuk melalui dua pintu sekaligus, yakni Jokowi dan Megawati. Bagaimanapun Megawati selaku sosok ketua umum memiliki kekuatan simbolik dan pengaruh yang besar bagi internal PDIP.
"Pintu formalnya dengan Pak Jokowi karena dia presiden, nah pintu kulturalnya harus dengan Ibu Mega," ujarnya.
"Nah jadi ya itu (pertemuan Megawati dengan Prabowo) akan melengkapi rekonsiliasi politik dan rekonsiliasi kuktural Pak Prabowo dengan PDIP dalam hal ini," kata Abbas menambahkan.
Abbas mengistilahkan Megawati adalah kunci untuk Prabowo bila memang ingin bergabung dalam koalisi Jokowi-Ma'ruf. Kesepakatan politik antara Jokowi dengan Gerindra atau Prabowo, apakah itu soal masuk koalisi atau pemberian konsensi kekuasaan, bisa terjadi kalau Megawati juga memberi lampu hijau.
"Jadi meskipun Pak Jokowi misalnya terbuka, tetapi kecil kemungkinan terkait dengan rekonsiliasi politiknya, kecil kemungkinan Pak Jokowi mengabaikan peran Bu Mega," tuturnya.
Ganjalan Surya Paloh csMeskipun demikian, Abbas menilai pertemuan Megawati dengan Prabowo tak serta merta melahirkan kesepakatan politik antara PDIP dengan Gerindra, misalnya ikut masuk dalam koalisi Jokowi-Ma'ruf Amin.
Dalam konteks dimaksud, Prabowo masih harus membuka komunikasi juga dengan NasDem, Golkar, PKB, serta PPP yang notabene juga mengusung Jokowi-Ma'ruf Amin di Pilpres 2019..
Abbas menyinggung soal pertemuan keempat partai koalisi Jokowi-Ma'ruf itu di markas NasDem. Hadir dalam pertemuan itu Surya Paloh, Airlangga Hartarto, Muhaimin Iskandar alias Cak Imin, dan Suharso Monoarfa.
Dari pertemuan itu bisa dilihat ada titik temu keempat partai dalam mendukung Jokowi-Ma'ruf lima tahun ke depan serta posisi mana yang bisa diperoleh, baik di pemerintah maupun MPR/DPR.
"Kalaupun Ibu Mega dan Pak Jokowi membuka pintu bagi Pak Prabowo dan Gerindra berkoalisi, menurut saya belum selesai (karena masih ada NasDem, Golkar, PKB, PPP)," tutur Abbas.
Abbas menyebut pertemuan Megawati dengan Prabowo hanya sebatas memperbaiki hubungan kedua tokoh tersebut dalam kancah politik nasional. Mengingat, kata Abbas, hanya Megawati dan Prabowo yang bersua, tanpa pimpinan partai koalisi lain.
"Karena (partai) koalisi mengandaikan juga peran anggota koalisi yang lain secara proporsional. Kalau dilihat kan besar juga pengaruhnya, PKB, NasDem, Golkar," ujarnya.
[Gambas:Video CNN]
Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Ahmad Bakir Ihsan menilai pasti ada kesepakatan yang lahir dalam pertemuan antar-pimpinan partai politik. Tak terkecuali Prabowo dan Megawati.
Ia menyebut Jokowi selaku pemenang tentu berharap mendapat dukungan dari sejumlah pihak, termasuk Prabowo dan Gerindra. Di sisi lain Prabowo memiliki kekuatan di parlemen dan memiliki kader terbaik, yang bisa saja dalam negosiasi akan masuk dalam pemerintah.
"Itu sangat dimungkinkan karena dalam politik tidak ada yang hitam putih semuanya bisa mencair, mengalir pada kepentingan apa yang mereka dapatkan dari negosiasi-negosiasi yang dilakukan," ujarnya.
Bakir berkata dari sudut pandang Jokowi, mantan Wali Kota Solo itu tentu berharap mendapat dukungan dari Prabowo. Meskipun nanti tak masuk dalam pemerintahan, tetapi setidaknya Prabowo memberikan kritik yang konstruktif.
Sementara dari kacamata Prabowo, kata Bakir, ia tentu juga ingin menempatkan kadernya dalam kabinet Jokowi-Ma'ruf. Ia menyebut penempatan kader Gerindra di pemerintahan Jokowi menjadi modal untuk hajatan politik 2024 nanti.
Bakir mengatakan Prabowo tak akan terlalu ngotot membicarakan posisi Gerindra di Senayan lantaran mereka memperoleh suara tertinggi kedua pada Pemilu 2019. Menurutnya, dengan sendirinya Gerindra mendapat insentif dari capain kali ini.
Gerindra diketahui mendapat 12,57 persen dari suara sah nasional.
Namun, bagi Bakir, pertemuan Megawati dengan Prabowo ini sifatnya terbatas. Pertemuan itu hanya untuk mengakomodasi kepentingan PDIP dan Gerindra.
"Jadi ini lebih pada kepentingan dua belah pihak kemudian bisa melakukan negosiasi-negosiasi yang menguntungkan dari kedua belah pihak," tuturnya.
Nostalgia Pilpres 2009Bakir menambahkan pertemuan Megawati dan Prabowo juga menjadi nostalgia kedua ketua umum itu. Megawati dan Prabowo pernah berkongsi pada Pilpres 2009 lalu. Megawati menjadi calon presiden, sementara Prabowo mendampingi sebagai calon wakil presiden.
Namun, pasangan Megawati-Prabowo kalah dari petahana Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono. Koalisi Megawati dan Prabowo ketika itu turut ditandai dengan perjanjian antara mereka berdua atau dikenal perjanjian 'Batu Tulis'.
Kemesraan Megawati dengan Prabowo masih berlanjut sampai hajatan Pilgub DKI Jakarta 2012. Keduanya bersama-sama mengusung Jokowi dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Mereka sukses mengantar Jokowi-Ahok memimpin Ibu Kota.
Namun, hubungan Megawati dan Prabowo mulai renggang saat gelaran Pilpres 2014. Megawati dianggap mengkhianati perjanjian 'Batu Tulis' yang diteken bersama Prabowo.
Salah satu poin perjanjian itu menyebut Megawati akan mengusung Prabowo pada Pilpres 2014. Perjanjian 'Batu Tulis' diungkit karena ketika itu Megawati memilih mengusung Jokowi yang juga kader PDIP dan masih menjabat gubernur DKI Jakarta.
"Secara personal sebetulnya mereka (Megawati dan Prabowo) tidak ada persoalan yang substantif," ujarnya.
Di sisi lain, kata Bakir, pertemuan ini juga memperlihatkan munculnya ikatan baru antara Megawati dengan Prabowo. Menurutnya, secara ideologis Megawati maupun Prabowo sama-sama orang nasionalis.
"Jadi hal biasa. Apalagi dulu Pak Prabowo pernah berpasangan dengan Megawati kan di Pilpres 2009," tuturnya.