Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Ahmad Bakir Ihsan menilai pasti ada kesepakatan yang lahir dalam pertemuan antar-pimpinan partai politik. Tak terkecuali Prabowo dan Megawati.
Ia menyebut Jokowi selaku pemenang tentu berharap mendapat dukungan dari sejumlah pihak, termasuk Prabowo dan Gerindra. Di sisi lain Prabowo memiliki kekuatan di parlemen dan memiliki kader terbaik, yang bisa saja dalam negosiasi akan masuk dalam pemerintah.
"Itu sangat dimungkinkan karena dalam politik tidak ada yang hitam putih semuanya bisa mencair, mengalir pada kepentingan apa yang mereka dapatkan dari negosiasi-negosiasi yang dilakukan," ujarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bakir berkata dari sudut pandang Jokowi, mantan Wali Kota Solo itu tentu berharap mendapat dukungan dari Prabowo. Meskipun nanti tak masuk dalam pemerintahan, tetapi setidaknya Prabowo memberikan kritik yang konstruktif.
Sementara dari kacamata Prabowo, kata Bakir, ia tentu juga ingin menempatkan kadernya dalam kabinet Jokowi-Ma'ruf. Ia menyebut penempatan kader Gerindra di pemerintahan Jokowi menjadi modal untuk hajatan politik 2024 nanti.
Bakir mengatakan Prabowo tak akan terlalu ngotot membicarakan posisi Gerindra di Senayan lantaran mereka memperoleh suara tertinggi kedua pada Pemilu 2019. Menurutnya, dengan sendirinya Gerindra mendapat insentif dari capain kali ini.
Gerindra diketahui mendapat 12,57 persen dari suara sah nasional.
Namun, bagi Bakir, pertemuan Megawati dengan Prabowo ini sifatnya terbatas. Pertemuan itu hanya untuk mengakomodasi kepentingan PDIP dan Gerindra.
"Jadi ini lebih pada kepentingan dua belah pihak kemudian bisa melakukan negosiasi-negosiasi yang menguntungkan dari kedua belah pihak," tuturnya.
Nostalgia Pilpres 2009Bakir menambahkan pertemuan Megawati dan Prabowo juga menjadi nostalgia kedua ketua umum itu. Megawati dan Prabowo pernah berkongsi pada Pilpres 2009 lalu. Megawati menjadi calon presiden, sementara Prabowo mendampingi sebagai calon wakil presiden.
Namun, pasangan Megawati-Prabowo kalah dari petahana Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono. Koalisi Megawati dan Prabowo ketika itu turut ditandai dengan perjanjian antara mereka berdua atau dikenal perjanjian 'Batu Tulis'.
Kemesraan Megawati dengan Prabowo masih berlanjut sampai hajatan Pilgub DKI Jakarta 2012. Keduanya bersama-sama mengusung Jokowi dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Mereka sukses mengantar Jokowi-Ahok memimpin Ibu Kota.
Namun, hubungan Megawati dan Prabowo mulai renggang saat gelaran Pilpres 2014. Megawati dianggap mengkhianati perjanjian 'Batu Tulis' yang diteken bersama Prabowo.
Salah satu poin perjanjian itu menyebut Megawati akan mengusung Prabowo pada Pilpres 2014. Perjanjian 'Batu Tulis' diungkit karena ketika itu Megawati memilih mengusung Jokowi yang juga kader PDIP dan masih menjabat gubernur DKI Jakarta.
"Secara personal sebetulnya mereka (Megawati dan Prabowo) tidak ada persoalan yang substantif," ujarnya.
Di sisi lain, kata Bakir, pertemuan ini juga memperlihatkan munculnya ikatan baru antara Megawati dengan Prabowo. Menurutnya, secara ideologis Megawati maupun Prabowo sama-sama orang nasionalis.
"Jadi hal biasa. Apalagi dulu Pak Prabowo pernah berpasangan dengan Megawati kan di Pilpres 2009," tuturnya.
(fra/osc)