Jakarta, CNN Indonesia -- Tanggal 14
Agustus 1945, M Jusuf Ronodipuro mendapat kabar dari Mochtar Lubis sesama rekannya yang bekerja di Radio
Hose soal kekalahan
Jepang dalam
Perang Pasifik. Mochtar bekerja di bagian
monitoring. Itu artinya Mochtar adalah satu-satunya orang Indonesia yang diizinkan mendengarkan siaran radio asing di tempatnya bekerja. Sementara Jusuf adalah seorang reporter.
Jusuf kemudian diperintahkan atasannya meliput kedatangan Sukarno dan Mohammad Hatta di Bandara Kemayoran, Jakarta. Sukarno dan Mohammad Hatta saat itu datang dari Saigon, Vietnam usai bertemu Jenderal Jepang Hisaichi Terauchi di Dalat.
Namun, sebelum ke Kemayoran, Jusuf mendatangi kelompok pemuda yang berkumpul di Menteng Raya 31 (saat ini dikenal sebagai Gedung Joang 45), Jakarta. Kepada para pemuda tersebut, Jusuf mengabarkan kekalahan Jepang di Perang Pasifik. Ternyata para pemuda pun sudah mendapatkan informasi tersebut dari Adam Malik yang kala itu bekerja di Kantor Berita
DOME.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejarawan Rushdy Hoesein menerangkan dalam pertemuan dengan Terauchi di Dalat itu, Sukarno, Hatta, dan Radjiman Wediodiningrat dipersilakan Jepang untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
"Bung Karno bilang, 'Kapan boleh kami resmi menyelenggarakan proklamasi?' Lalu Jenderal Terauchi bilang, 'itu tergantung tuan-tuan sebagai ketua dan wakil ketua panitia persiapan, kami dengan senang hati.' Jadi tidak banyak yang dibicarakan," tutur Rushdy menirukan gaya bicara keduanya saat disambangi
CNNIndonesia.com, Selasa (13/8) malam.
Sementara itu saat Sukarno-Hatta mendarat di Kemayoran, Chairul Saleh dkk menunggu di sebuah kebun pisang tak jauh dari landasan. Mereka mendengarkan Bung Karno menyampaikan pidato singkat sesaat setelah mendarat di hadapan anak-anak sekolah dan orang-orang yang datang yang dikerahkan Hookookai dan Gunseikanbu.
'
Apabila dulu aku katakan bahwa Indonesia akan merdeka sesudah jagung berbuah, sekarang dapat dikatakan Indonesia akan merdeka sebelum jagung berbunga,' demikian sepatah kata Sukarno di hadapan mereka yang menyambut yang diceritakan lagi oleh Mohammad Hatta dalam autobiografinya,
Untuk Negeriku, Menuju Gerbang Kemerdekaan.
Rushdy mengatakan kalimat yang diutarakan Sukarno sebelumnya soal Jepang hanya berkuasa seumur jagung itu sangat strategis membangkitkan semangat orang Indonesia kala itu.
'Itu banyak orang menanam jagung, sebab katanya Jepang itu akan seumur jagung jadi alhasil informasi mengenai riwayat jagung ini jadi bagian dari revolusi. Sukarno berpidato [di Kemayoran] itu ditulis oleh Pak Jusuf [Ronodipuro] wartawan RRI," kata Rushdy.
M. Jusuf Ronodipuro (paling kiri kedua dari bawah berdasi kupu-kupu) saat berfoto bersama Presiden Sukarno. (Dok. Istimewa) |
Chairul Saleh dkk kemudian menghampiri Sukarno-Hatta yang hendak memasuki mobil setelah mendarat di Kemayoran.
'
Selamat datang kembali Bung Karno, Bung Hatta. Kami semua menunggu oleh-oleh yang Bung bawa dari Saigon,' ujar Chairul seperti diriwayatkan AM Hanafi dalam
Menteng 31: Markas Pemuda Revolusioner Angkatan 45 : Membangun Jembatan Dua Angkatan (1996).
Dalam kesempatan itu Chairul menegaskan kepada Sukarno agar segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanpa menunggu lama lagi karena Jepang sudah kalah dalam Perang Pasifik. Namun, Bung Karno hanya menjawab sepintas tak ingin membicarakan hal tersebut di kawasan lapangan terbang tersebut. Ia dan Bung Hatta lalu pergi begitu saja.
AM Hanafi dan Chairul adalah satu dari sejumlah pemuda yang menunggu Sukarno-Hatta mendarat di bandara Kemayoran kala itu. Selain mereka, ada pula Asmara Hadi, Sudiro, SK Trimurti, dan Sayuti Melik.
Hatta meriwayatkan setelah dari Kemayoran, ia bersama Sukarno dan Radjiman dibawa ke Istana Gunseireikan dan dijamu di sana. Barulah sekitar pukul 13.30, Hatta pulang ke rumah. Setiba di rumah dia mendapati telah menunggu Sutan Sjahrir. Mereka berdua pun terlibat dalam perbincangan soal proklamasi kemerdekaan, di mana Sjahrir mendesak agar tak diserahkan ke Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
'
Sebab Indonesia yang lahir semacam itu akan dicap Sekutu sebagai Indonesia buatan Jepang. Sebaik-baiknya Bung Karno sendiri saja menyatakannya sebagai pemimpin rakyat atas nama rakyat dengan perantaraan corong radio,' tulis Hatta soal pandangan Sjahrir yang dikemukakan padanya dalam autobiografinya.
Sjahrir pun mengabarkan soal Jepang yang sudah menyatakan kalah terhadap sekutu. Akhirnya, Hatta mengajak Sjahrir ke rumah Sukarno yang berada di Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Sukarno menyatakan tak bisa setuju dengan usul Sjahrir.
'
Aku tidak berhak bertindak sendiri, hak itu adalah tugas Panitia Persiapan Kemerdekaan yang aku menjadi ketuanya. Alangkah janggalnya di mata orang setelah kesempatan terbuka untuk mengucapkan kemerdekaan Indonesia, aku bertindak sendiri melewati Panitia Persiapan Kemerdekaan yang kuketuai,' ungkap Sukarno kepada Sjahrir seperti dituliskan Hatta.
Rushdy mengatakan setelah kedatangan Sjahrir itu sebetulnya Sukarno dan Hatta pun memikirkan untuk melekaskan proklamasi sehingga mereka mencari informasi sendiri mengenai kekuatan Jepang, termasuk pula kepada Laksamana Maeda pada 15 Agustus 1945. Laksamana Maeda adalah perwira tinggi Angkatan Laut Jepang (Kaigun) yang bersimpati pada kemerdekaan Indonesia.
Akhirnya Sukarno dan Hatta pun memutuskan untuk menyegerakan rapat PPKI di hotel Des Indes, Jakarta, pada 16 Agustus 1945 pagi. Hatta pun meminta Ahmad Subardjo meminta semua anggota PPKI hadir tepat pukul 10.00 di Kantor Dewan Sanyo Kaigi di Pejambon (kini Gedung Pancasila).
Sementara itu, sekitar pukul 20.00, 15 Agustus 1945, berkumpullah sejumlah pemuda dari berbagai kelompok di belakang Laboratorium Bakteriologi Eijkmann Institute, Pegangsaan 17. Adam Malik menulis yang hadir kala itu antara lain Darwis, Djohar Nur, Kusnandar, Subadio, Subianto, Margono, Aidit Sunjoto, Abubakar E Sudewo, Wikana, dan Armansjah. Pertemuan itu dipimpin Chairul Saleh.
'
Pembicaraan-pembicaraan yang dirundingkan ialah: bagaimana sikap yang akan diambil menghadapi situasi ketika itu dan bagaimana caranya supaya rakyat Indonesia menyatakan kemerdekaannya di luar segala bentuk dan semangat Kemerdekaan Hadiah dan bagaimana sikap terhadap Sukarno-Hatta. Pertemuan itu memutuskan: bahwa kemerdekaan Indonesia adalah hak dan soal rakyat Indonesia sendiri, tak dapat digantung-gantungkan pada orang atau kerajaan lain,' tulis Adam Malik dalam
Riwayat Proklamasi 17 Agustus.Akhirnya diputuskan mengutus Wikana untuk kembali menemui Sukarno, sementara itu Djohar Nur diperintahkan menyusun persiapan-persiapan pelajar yang ada di asramanya, Asrama Badan Permusyawaratan Pelajar-Pelajar Indonesia (Baperpi) yang berada di Cikini 71.
(bersambung ke halaman berikutnya: Kesaksian Fatmawati saat Sukarno marah terhadap kelompok pemuda yang memintanya menyegerakan proklamasi...)[Gambas:Video CNN]
15 Agustus 1945, kira-kira pukul 22.00, tibalah Wikana dan Darwis di rumah Bung Karno. Adam Malik menceritakan tak lama menyusul Sukarno, Moh Hatta, Ahmad Subardjo, dan Buntara. Bung Karno pun sempat bertanya kepada Hatta tanggapannya soal proklamasi yang didesak Wikana dkk.
'Aku masih terjaga, aku mendengar perdebatan yang sengit antara Bapak dengan para pemuda itu. Antara lain aku mendengar kata-kata Bung Karno: "Saya menghadapi pihak pemuda; pemimpin tua, dan pemimpin agama",’ tulis istri Sukarno, Fatmawati, dalam buku
Fatmawati: Catatan Kecil Bersama Bung Karno.
Rushdy menjelaskan dalam perundingan dengan Sukarno itu, Wikana berapi-api mengatakan jika kemerdekaan tidak dilakukan malam itu juga, maka esok harinya akan terjadi pertumpahan darah. Sukarno tersinggung. Dengan emosi, Sukarno lalu meminta Wikana untuk memenggal kepalanya.
"Enggak usah besok sekarang ini nih kepala saya, kamu selesaikan," ujar Rushdy mencoba menirukan pernyataan Sukarno terhadap Wikana.
Mengutip dari buku
Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat, Wikana dkk diam ketika mendengar tantangan Sukarno.
‘
Aku duduk lagi. Butir-butir keringat menggantung di bibir atasku. Tak ada lagi yang menyebut Sukarno pengecut. Aku menangkap mata Fatmawati di bagian lain dari kusen pintu. Mukanya kelihatan murung dan tegang. Ia menyaksikan semua dengan sungguh-sungguh. Dengan nada rendah ku mulai kembali percakapan kami, “Yang paling penting di dalam suatu peperangan dan revolusi adalah waktu yang tepat. Di Saigon aku sudah merencanakan seluruh pekerjaan ini untuk dijalankan tanggal 17,’ kata Sukarno dalam biografi yang dituliskan Cindy Adams tersebut.
Sukarni balik bertanya mengapa harus menunggu tanggal 17 Agustus, mengapa tak bisa lebih cepat. Sukarno lalu menjawab bahwa dirinya memercayai hal yang mistik, yang tak bisa ia terangkan secara masuk akal mengapa tanggal 17 itu memberikannya harapan.
'
Tujuh belas adalah angka yang suci, Tujuh belas adalah angka yang keramat,' kata Sukarno.
Ia lalu mencoba menjelaskan bahwa 17 Agustus tersebut jatuh pada hari Jumat Legi, yang menurutnya manis dan suci. Selain itu, sambungnya, Alquran pun diturunkan pada tanggal 17 Ramadan, dan orang Islam melakukan salat wajib sebanyak 17 rakaat dalam sehari.
Setelah mengetahui Sukarno tetap bergeming, Wikana dkk pun meninggalkan rumah tersebut hampir pukul 24.00. Fatmawati mengutarakan hatinya agak gelisah. Sementara itu, Sukarno disebutnya tak bisa tidur lalu duduk di ruang makan sendiri hingga makan sahur. Saat itu memang sedang Ramadan, bulan suci bagi umat Islam untuk menunaikan ibadah puasa wajib.
Sementara itu Sukarni, Wikana, dan pemuda lainnya segera ke Cikini 71 memberikan keterangan apa yang telah didapatkan dari negosiasi di rumah Sukarno. Para pemuda yang berkumpul terlibat perdebatan sengit. Hingga akhirnya seorang pemuda bernama Djohar Nur menyampaikan untuk menculik Sukarno-Hatta.
"'Ini daripada begini kita berdebat enggak ada ujungnya besok sudah pagi, culik saja', itu ada kata-kata itu. Saya pernah ketemu Djohar Nur, cerita juga Djohar Nur,” kata Rushdy.
Kemudian, lewat diskusi kecil antara Chairul Saleh, Sukarni, Jusuf Kunto, Dr Muwardi, dan Singgih (PETA) menyepakati untuk membawa Sukarno-Hatta ke Rengasdengklok, Karawang.
Sejarawan JJ Rizal menjelaskan pemilihan Rengasdengklok oleh kelompok pemuda itu karena di sana terbilang tak terlalu jauh dari Jakarta, dan juga terpencil dari jalur utama di Pantura.
"Di situ beberapa pemuda yang tergabung dalam PETA punya jaringan ke kelompok pemuda Tan Malaka maupun Syahrir. Di situlah mereka ketemu ada satu daerah yang mereka kuasai, sudah dianggap sebagai bagian republik," kata Rizal saat disambangi, Sabtu (10/8).
Peristiwa penculikan itu pun terjadi pada dini hari 16 Agustus 1945. Sukarno dan Hatta di jemput oleh pemuda di rumahnya masing-masing. Namun Sukarno tidak mau pergi ke Rengasdengklok tanpa istri, Fatmawati, dan anaknya, Guntur, yang saat itu masih berusia sekitar satu tahun.
Lalu, berangkatlah mereka dengan mobil sedan dan dua penjagaan pada awalnya. Akibat takut ketahuan Jepang, Sukarno dan Fatmawati dipindahkan ke mobil
pick up yang tertutup. Pakaian PETA juga dikenakan mereka.
"Rupanya sudah ada persiapan yang cukup matang," ujar Rushdy.
 Presiden pertama RI Sukarno bersama istri, Fatmawati, dan dua anak mereka: Guntur Soekarnoputra dan Megawati Soekarnoputri. (AFP) |
Setibanya di Rengasdengklok, para pemuda sudah menyiapkan tempat untuk Sukarno, Hatta, Fatmawati, dan Guntur yaitu kompi yang terbuat dari bambu. Namun kompi tersebut cukup panas sehingga membuat Guntur terus menangis. Tak lama, mereka dipindah ke sebuah rumah milik Djiauw Kie Siong, seorang petani dan juga pengrajin peti mati di pinggir aliran sungai Citarum.
Namun Sukarno-Hatta tidak melakukan apapun di sana. Mereka pun hanya berkegiatan menimang-timang Guntur sambil menunggu kabar soal kekalahan Jepang. Akhirnya pada sore hari, pemuda kembali membawa Sukarno-Hatta ke Jakarta setelah berhasil diyakinkan Ahmad Subardjo yang menjemput ke Rengasdengklok.
Lantas mengapa kelompok pemuda mendorong proklamasi segera dibacakan, namun menyerahkan itu kepada Sukarno, bukan memproklamasikan sendiri?
Sejarawan JJ Rizal mengatakan itu wajar sebab yang dikenal dan dipercaya rakyat pada masa itu sebagai pemimpin adalah Sukarno dan Hatta. Mereka dianggap punya legitimasi.
"Dua orang ini paling punya legitimasi untuk membacakan teks Proklamasi," kata Rizal.
Akan berbeda halnya, sambung Rizal, jika yang memproklamasikan kemerdekaan Indonesia itu adalah Tan Malaka ataupun Sutan Sjahrir. Meskipun di kalangan pemuda kala itu mereka menjadi panutan, namun kurang didengar di kalangan rakyat karena pergerakannya di bawah tanah.
Jadi menurut Rizal, kelompok-kelompok yang berada di bawah Sjahrir dan Tan Malaka itulah yang bergerak, termasuk pula saat membawa Sukarno-Hatta ke Rengasdengklok.
"Syahrir menganalisis, Tan Malaka menganalisis dan kemudian mendorong, Tan Malaka melalui kelompoknya Sukarni Cs itu kan kelompok yang menculik, dan anggota dari kelompok Syahrir ikut melakukan walaupun Syahrir marah-marah itu salah," tuturnya.
Dua Kalimat dalam Naskah ProklamasiTiba di Jakarta, Sukarno-Hatta hendak melakukan rapat dengan panitia persiapan kemerdekaan Indonesia. Sebagian besar anggotanya sudah berada di Hotel Des Indes. Namun, pihak hotel tak bisa menyediakan karena sudah lepas jam malam sesuai aturan militer Jepang.
‘
Subardjo mengusulkan, bolehkan ia coba menelepon Maeda, meminta dipinjamkan ruang tengah rumahnya untuk rapat itu. Kami persilakan Subardjo menelepon dan Maeda menerima permintaan kami,’ tulis Hatta dalam autobiografi
Untuk Negeriku: Menuju Gerbang Kemerdekaan.
Setelah itu, Hatta pun meminta Subardjo menghubungi anggota-anggota PPKI yang semuanya menginap di Des Indes agar datang ke rumah Maeda pukul 24.00 untuk melanjutkan rapat. Beberapa saat kemudian, dekat pukul 22.00, Sukarno menjemput Hatta di rumahnya yang berada di Syowa Dori (sekarang Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat), lalu bersama-sama menuju rumah Maeda yang berada di Jalan Imam Bonjol, Menteng, Jakarta Pusat.
Diceritakan Hatta setelah mereka berada di rumah Maeda, ia bersama Sukarno ditemani sang laksamana dan juru bahasanya, Miyoshi, mendatangi rumah
Sumobuco, Mayjen Nishimura yang jaraknya kurang dari lima menit berkendara mobil.
Sukarno pun menagih janji kemerdekaan yang akan diberikan Jepang. Namun, Nishimura menolaknya. Dia mengatakan telah menerima perintah bahwa militer Jepang harus menjaga status quo dan tidak memberikan izin kemerdekaan bagi Indonesia.
'
Kalau Jepang tidak mampu lagi menepati janjinya, rakyat Indonesia sendiri akan memerdekan dirinya. Semangat rakyat yang bergelora sekarang akan diperhatikan oleh Sekutu , kecuali Belanda. Sebab itu Jepang tidak perlu lagi menolong kami. Kami minta jangan dihalang-halangi,' demikian pernyataan yang disampaikan menjawab Nishimura seperti dituliskan Hatta.
Nishimura menyatakan dengan sangat menyesal, tentara Jepang akan menghalangi bahkan dengan kokangan senjata andai proklamasi digelar.
Hatta menjadi geram. Rushdy mengatakan Hatta sempat menggebrak meja dan menyindir Nishimura.
"Apa ini janji seorang samurai? Anda seperti menjilat ludahnya di depan musuhnya," kata Rushdy mengikuti Hatta.
Patung Sayuti Melik (duduk) ditemani BM Diah (berdiri) mengetikkan draf naskah proklamasi yang semula hanya tulisan tangan Sukarno di salah satu ruang di lantai dasar rumah Laksamana Maeda, Menteng, Jakarta. (CNN Indonesia/Dika Dania Kardi) |
Sukarno-Hatta pun langsung memutuskan akan tetap melakukan kemerdekaan baik ada dan tanpa Jepang. Mereka pun pergi dan kembali ke tempat Maeda.
'
Setelah hampir dua jam kami berdebat di sana dengan tiada mencapai pengertian, Sukarno dan aku mufakat lebih baik meninggalkan rumah Mayor Jenderal Nishimura dan kembali ke rumah Maeda,' tulis Hatta.
Adam Malik mengisahkan Sukarno-Hatta mengusulkan supaya proklamasi itu pada 17 Agustus 1945 siang saja ditandatangani dan diumumkan di muka anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan yang sudah ada (yang dibentuk oleh Jepang). Usul ini ditolak keras golongan Sukarni-Chairul Saleh.
'Kami tidak mau dibawa-bawa segala badan yang berbau Jepang seperti badan persiapan, dan kami tidak suka jika orang-orang yang tidak ada usahanya dalam hal ini ikut campur, sebab nanti mungkin proklamasi ini mundur lagi,' kata Chairul Saleh menjawab soal Sukarno Hatta tersebut seperti dituliskan Adam Malik.
Di dalam rumah Maeda, Sukarno-Hatta lalu meminta waktu untuk menyusun teks kasar proklamasi bersama Subardjo , Sukarni, dan Sayuti Melik di ruang makan yang berada di belakang ruang tamu atau di sebelah ruang pertemuan. Sementara itu, Maeda memilih undur diri dari kerumunan di lantai dasar rumahnya, lalu naik ke kamarnya yang berada di lantai dua.
‘
Tidak seorang di antara kami yang membawa dalam sakunya teks proklamasi yang dibuat pada tanggal 22 juni 1945, yang sekarang disebut Piagam Jakarta,’ ujar Hatta.
Lalu, Sukarno pun mempersilakan Hatta menyusun teks ringkas karena bahasanya dinilai sebagai yang terbaik di antara mereka.
Akhirnya dibuatlah naskah tersebut, di mana Hatta mengusulkan akhir alinea ketiga dari rencana pembukaan Undang-undang Dasar mengenai kemerdekaan yang diangkat jadi kalimat pertama naskah proklamasi. Dan sebagai pelengkap pada kalimat kedua ditambahkan cara menyelenggarakan revolusi nasional.
Naskah itu lalu disampaikan ke ruang sebelah yang tak lagi hanya dihadiri anggota PPKI, melainkan juga pemimpin pemuda dan juga pemimpin rakyat yang lain di Jakarta. Sempat muncul kegaduhan mengenai siapa yang akan menandatangani naskah itu, lalu muncul Sukarni yang mengusulkan agar Sukarno dan Hatta saja yang membubuhkan tanda tangan atas nama rakyat Indonesia.
Kemudian, Sayuti Melik diperintah Sukarno untuk mengetik naskah yang masih berupa tulisan tangan tersebut. Sayuti pun sigap, ditemani BM Diah mengalihkan naskah itu dari tulisan tangan ke huruf balok menggunakan mesin ketik.
Setelah selesai penyusunan teks proklamasi, mereka pun memutuskan lokasi pembacaan teks tersebut. Putusan pertama jatuh pada Lapangan Ikada yang kini menjadi Monas. Namun, keputusan itu dibatalkan lantaran mengkhawatirkan Jepang akan turun tangan. Walhasil, dipilihlah rumah Sukarno di Pegangsaan Timur 56. Alasannya, halamannya cukup luas untuk menampung orang bahkan hingga ke badan jalan di depannya.
Hatta mengisahkan sebelum pulang ia berpesan kepada golongan pemuda, terutama pers, untuk bekerja keras memperbanyak teks proklamasi dan menyebarkannya ke seluruh Indonesia sedapat-dapatnya. Hatta berkata, ‘
Saudara, yang bekerja di Kantor Domei, kawatkan sedapat-dapatnya berita Proklamasi itu ke seluruh dunia yang dapat dicapai.’
Sementara itu, Sukarno ketika telah sampai di rumahnya segera meminta kepada pemuda pelopor bernama Suhud untuk mencari bambu dan tali ijuk. Kemudian Sukarno meminta supaya Suhud menancapkan bambu tersebut. Ia
bertanya-tanya tetapi tidak berani menanyakannya langsung pada Soekarno. Yang dipertanyakan Suhud pun terjawab, pada pukul 10.00 pagi, Soekarno-Hatta sudah berkumpul untuk membacakan teks proklamasi.
'Ketika akan melangkahkan kaki keluar dari pintu terdengarlah teriakan bahwa bendera belum ada, kemudian aku berbalik mengambil bendera yang aku buat tatkala Guntur masih dalam kandungan satu setengah tahun yang lalu. Bendera itu aku berikan pada salah seorang yang hadir di tempat di depan kamar tidurku. Nampak olehku di antara mereka adalah Mas Diro (Sudiro ex Walikota DKI), Suhud, Kolonel Latief Hendraningrat. Segera kami menuju ke tempat upacara, paling depan Bung Karno disusul oleh Bung Hatta, kemudian aku,' tulis Fatmawati dalam autobiografinya.
Proklamasi kemudian dibacakan Bung Karno didampingi Bung Hatta tepat pukul 10.00, 17 Agustus 1945.
Bendera merah putih yang telah dijahit Fatmawati pada 1944 itu pun sudah siap di atas baki. Sukarno mengatakan tidak ada yang ditugaskan untuk mengibarkan bendera Merah Putih karena memang tidak ada persiapan untuk itu, serta tak ada yang berpikir sejauh itu. Seorang pemuda bernama Latief Hendraningrat, salah satu dari beberapa hadirin yang mengenakan seragam, berada dekat tiang.
'Setiap orang menunggu dengan tegang ketika dia mengambil bendera itu, mengikatkan pada tali yang kasar dan kusut, dan mengibarkannya,' ujar Sukarno dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat.
Setelanya, nyanyian Indonesia Raya pun spontan dikumandangkan masyarakat yang sudah berkumpul di depan rumah Sukarno. Nyanyian itu, kata Sukarno, khidmat meski dilakukan tanpa iringan musik.
'Setelah Proklamasi dibacakan dan bendera nasional Sang Saka Merah Putih dinaikkan sebagai tanda bangsa Indonesia sudah merdeka, bernegara, dan berdaulat, serta lagu Indonesia Raya dinyanyikan, rakyat bersorak dan bergembira,' tulis Hatta.
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 inilah yang jadi hari lahir negara bernama Republik Indonesia secara
de facto yang kita peringati setiap tahunnya.
[Gambas:Video CNN]