Menteri Pertahanan
Ryamizard Ryacudu menyarankan pendekatan militer jika cara halus tak mempan untuk mencegah pengibaran
bendera bintang kejora yang diiringi kekerasan.
Hal itu ia sampaikan saat menggelar rapat dengar pendapat dengan Komisi I terkait perkembangan keamanan di Papua di Kompleks MPR/DPR, Jakarta, Kamis (5/9).
"Pengibaran bendera bintang kejora yang dilakukan di berbagai tempat, aksi pemisahan diri dari NKRI yang juga dibarengi dengan aksi kekerasan bersenjata, idealnya dilakukan secara persuasif," tuturnya, saat ditemui di kompleks parlemen, Jakarta, Kamis (5/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Namun bila tak diindahkan, semestinya dilakukan secara pendekatan militer, khususnya melalui operasi militer selain perang," Ryamizard menambahkan.
Lebih lanjut, mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) itu menjelaskan para pemberontak di Papua saat ini sudah membentuk pasukan baru yang bernama West Papua Army (WPA) yang berada di bawah kendali Ketua Gerakan Persatuan Pembebasan Papua Barat (ULMWP), Benny Wenda.
 Massa mengibarkan bendera bintang kejora saat berunjuk rasa menuntut referendum bagi Papua di seberang Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (28/8). ( CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Tak hanya itu, ia mencatat terdapat kelompok bersenjata lain yang dikenal dengan Tentara Pembebasan Nasional Papua. Kelompok ini diketahui tak ingin bersatu dengan WPA dengan alasan yang tak diketahui.
Melihat itu, Ryamizard mengatakan sudah menjadi tugas TNI untuk turun tangan bila menyangkut keamanan dan kedaulatan NKRI.
Ia menegaskan bahwa TNI tak mengenal kompromi dalam menumpas musuh-musuh yang merongrong kedaulatan negara.
"Perlu kita ketahui, kalau TNI melaksanakan tugasnya, maka tak ada kompromi dan musuh negara harus dihancurkan," kata dia.
Sebelumnya, Polda Metro Jaya sudah menetapkan enam orang sebagai tersangka kasus pengibaran bendera Bintang Kejora di seberang Istana Merdeka pada Rabu (28/8).
Enam tersangka itu, yakni Anies Tabuni, Charles Kossay, Ambrosius Mulait, Isay Wenda, Surya Anta Ginting, dan Erina Elopere, dijerat Pasal 106 dan Pasal 110 KUHP tentang makar.
 Foto: CNN Indonesia/Timothy Loen |
Dalam pengembangan kasusnya, polisi menangkap juru bicara Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP), Surya Anta Ginting pada Sabtu (31/8) di Plaza Indonesia, Jakarta.
Ia diduga terlibat dalam kasus dugaan makar karena berperan sebagai inisiator dalam tiga pertemuan untuk mempersiapkan aksi.
Selain itu, polisi juga menangkap Erina Elopere yang turut mengibarkan bendera Bintang Kejora, di asrama Papua di Tebet, Jakarta Selatan, Sabtu (31/8).
Polda Papua Barat juga telah menetapkan mantan kader Perindo Sayang Mandabayan sebagai tersangka kasus makar karena membawa 1.500 bendera bintang kejora.
Terpisah, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Polisi Dedi Prasetyo pengibaran bendera bintang kejora itu jadi persoalan karena sudah ada Peraturan Pemerintah 77 tahun 2007.
Dalam aturan itu tertulis jika bendera Indonesia adalah merah putih. Sementara untuk Bendera berlambang Bintang Kejora. Dedi menyebut itu identik dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM).
 Foto: CNNIndonesia/Asfahan Yahsyi Surya Anta Ginting, salah satu aktivis yang ditangkap |
"Bintang Kejora itu identiknya adalah dengan organisasi OPM makanya bisa diterapkan pasal itu," ujarnya di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Kamis (5/9).
Dedi pun sepakat dengan pendapat Wakil Presiden RI Jusuf Kalla yang mengusulkan supaya bendera bintang kejora tersebut bisa berkibar dengan syarat harus ada perubahan pada lambangnya.
"Makanya Pak Wapres Jusuf Kalla meminta jangan menggunakan bintang kejora lagi, silakan gunakan simbol lain, diganti Burung Cendarawasih karena setiap Kabupaten dan Kota punya simbol kedaerahan masing-masing," tuturnya.
[Gambas:Video CNN]