ICJR Kritik RKUHP Atur Kades Bisa Adukan Pasangan Kumpul Kebo

CNN Indonesia
Kamis, 19 Sep 2019 13:58 WIB
ICJR menilai pemerintah melakukan kesewenangan dengan memasukkan perluasan aturan Pasal 419 terkait pasangan hidup bersama di luar pernikahan alias kumpul kebo.
Ilustrasi perzinaan. (Istockphoto/dima_sidelnikov).
Jakarta, CNN Indonesia -- Rancangan KUHP dalam draf 15 September mengatur pidana perzinaan atau hidup bersama di luar pernikahan alias kumpul kebo. Aturan ini tertuang dalam Pasal 419 dan telah disepakati dalam rapat panitia kerja RKUHP.

Dalam pasal itu diatur mengenai perluasan delik aduan. Sebelumnya pelaporan dilakukan hanya suami, istri, dan anak. Namun sekarang diperluas, bahwa kepala desa juga bisa melaporkan ke polisi.

Intitute Criminal for Justice Reform (ICJR) menilai pemerintah telah bersikap sewenang-wenang dengan memasukkan aturan pelaporan pidana kohabitasi atau hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan yang sah oleh kepala desa tersebut.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Penambahan unsur kepala desa tersebut malah semakin memperlebar celah kesewenang-wenangan dalam urusan privasi warga negara," ujar Direktur Eksekutif ICJR Anggara melalui keterangan tertulis, Kamis (19/9).
Menurut Anggara, perluasan pihak pengadu itu akan menimbulkan overkriminalisasi pada pihak yang melakukan persetubuhan di luar perkawinan. Ia mengatakan, pengaturan pasal ini akan menyulitkan masyarakat yang tak memiliki dokumen perkawinan resmi.

Padahal dari data yang dimiliki ICJR, ada 40 hingga 50 juta masyarakat adat dan 55 persen pasangan menikah di rumah tangga miskin yang selama ini masih kesulitan memiliki dokumen perkawinan resmi.

"Tanpa sosialisasi yang jelas, laporan dari kepala desa untuk tindak pidana kesusilaan seperti kohabitasi akan berpotensi memidanakan 40 persen remaja yang sudah melakukan aktivitas seksual dan menghambat program pendidikan 12 tahun," katanya.

Dampaknya, lanjut Anggara, kawin cepat akan menjadi pilihan untuk menghindari hukuman penjara yang akan berakibat pula pada usia kehamilan yang terlalu muda.

Selain soal pengaduan perzinaan, Anggara juga mengkritisi ancaman pidana bagi perbuatan cabul sesama jenis yang diatur dalam Pasal 421 RKUHP. Dalam beleid tersebut menjelaskan pidana bagi setiap orang baik berbeda jenis maupun sama jenis kelaminnya yang melakukan perbuatan cabul.

"Penyebutan jenis kelamin berbeda atau sama secara redaksional merupakan hal yang tidak perlu. Penyebutan secara spesifik "sama jenisnya" tersebut malah merupakan bentuk diskriminasi terhadap kelompok minoritas seksual," tuturnya.
Anggara menuturkan, perlakuan yang berbeda terhadap kelompok minoritas seksual dalam level peraturan seperti ini diyakini akan memicu kerentanan bagi kelompok orientasi seksual yang berbeda untuk dikriminalisasi maupun dicap negatif ketika bergaul dalam hidup bermasyarakat.

Sebagai catatan, menurut data LBH Masyarakat , sepanjang 2017 terdapat 973 kasus kekerasan terhadap komunitas minoritas seksual (LGBT) atau sesama jenis di seluruh Indonesia. Angka ini akan meningkat apabila Pemerintah dan DPR tetap memaksakan rumusan diskriminatif dalam RKUHP.

"Oleh karena itu ICJR dengan tegas menolak ketentuan-ketentuan masuk ke RKUHP untuk menghindarkan celah kesewenang-wenangan oleh negara dalam memasuki ruang-ruang privasi warga negara dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas seksual," ungkapnya.

Pihaknya juga kembali mendesak agar pemerintah dan DPR menunda pengesahan draf RKUHP per 15 September 2019 yang justru jauh mundur ke belakang.

"ICJR mendorong Pemerintah dan DPR untuk kembali membahas secara terbuka khususnya terkait pasal-pasal dalam RKUHP baik yang bersifat overkriminalisasi maupun yang masih bermasalah lainnya dengan mengedepankan pendekatan berbasis bukti." ucapnya.

[Gambas:Video CNN] (psp/osc)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER