Jakarta, CNN Indonesia -- sejumlah pengamat politik dari berbagai lembaga tidak yakin terhadap kinerja anggota DPR periode 2019-2024.
Walaupun catatan Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menunjukkan hampir 44 persen anggota parlemen periode ini diisi wajah baru.
"Total petahana menurut catatan kami itu ya 50 persen, lawan 44 persen yang baru," kata Peneliti Formappi Lucius Karus membuka diskusi di kantornya mengenai Wajah Baru Anggota DPR, di Jakarta, Senin (14/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada 10 hari pertama kerja anggota DPR, Lucius menyangsikan kinerja lima tahun ke depan. Keraguan ini ditunjukkan karena tidak ada respons terhadap tuntutan massa aksi. Padahal salah satu kritik para demonstran adalah tuntutan terhadap kualitas legislasi anggota dewan.
"Sudah 10 hari lebih mereka dilantik, belum ada pekerjaan jelas yang dilakukan DPR kecuali menerima tamu. Padahal tinggal 10 hari lagi mereka menerima gaji pertama. Bagaimana kita bisa bilang mereka membawa harapan baik, jika protes yang disampaikan masyarakat menjelang pelantikan mereka justru tak ditanggapi serius sejak awal periode," ujar Lucius.
Direktur Lingkar Madani (LIMA) Ray Rangkuti menambahkan, sekalipun hampir separuh anggota DPR tampak sebagai pendatang baru, tapi bila dilacak yang betul-betul anyar jumlahnya tak lebih dari 20 persen.
"Sebagian naik kelas dari [anggota parlemen] daerah ke tingkat nasional. Tapi sebagian lain adalah bagian dari nepotisme di lingkungan partai politik. Jadi anaknya ini, anaknya itu dan seterusnya. Karena itu saya tidak terlalu optimis ya," ungkap Ray dalam kesempatan yang sama.
Ray menambahkan kecenderungan pragmatisme partai politik yang mengambil putusan berdasar pada kepentingan materiil atau ekonomi belaka.
"Jadi bukan lagi mengacu pada idealisme," kata dia.
Hal yang sama diungkap oleh Direktur Eksekutif Formappi Made Leo Wiratma. Selama ini ia menemukan sejumlah perdebatan yang mengemuka di tengah anggota dewan tak jauh-jauh dari kepentingan Parpol.
Dan ia memperkirakan kondisi serupa akan kembali dijumpai dalam kerja-kerja anggota baru DPR.
"Kegaduhan yang diciptakan bukan karena kepentingan rakyat melainkan ke kepentingan masing-masing. Seperti soal tambahan kursi, bagaimana membagi alat kelengkapan dewan," ungkap Made Leo.
"Kita hanya melihat suasana seperti itu, memikirkan diri mereka sendiri. Jarang kita lihat mereka gaduh meningkatkan pendapatan para petani, atau pekerja," sambung dia lagi.
Peneliti dari Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Sirajuddin Abbas menjelaskan pergantian personel memang tak bakal otomatis mengubah gairah dan produktivitas DPR. Sebab menurut dia, perubahan mendasar harus dimulai dari kaderisasi dan cara kerja Partai Politik.
Ia menuturkan, dalam kontrol partai politik seringkali terdapat 'tokoh' yang lebih berpengaruh ketimbang kader yang duduk di DPR.
"Jika anggota-anggota baru tidak mengerti hierarki seperti itu, maka hampir bisa dipastikan mereka frustrasi dalam waktu yang tak lama. Bingung mau melakukan apa, lalu memilih menyatu dengan 'budaya' kerja yang sudah puluhan tahun dibangun," terang Sirajuddin.
Kalau sudah begitu maka ia meyakini rapor anggota parlemen yang baru tak ubahnya seperti DPR periode yang lalu.
"Budaya kerja itu bukan sesuatu yang instan, itu dipelihara sejak lama. termasuk di DPR juga. Jadi berharap anggota baru bisa melakukan perubahan, saya kira tidak realistis," terang Sirajuddin.
(ika/age)