Jakarta, CNN Indonesia -- Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (
Walhi) kecewa dengan sikap pemerintah Indonesia dalam Konferensi
Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berlangsung 2-13 Desember di Madrid, Spanyol.
Kekecewaan tersebut lantaran pemerintah tidak tegas dalam bersikap untuk menguatkan ambisi dalam menurunkan emisi gas rumah kaca. Walhi menyatakan tidak ada perubahan signifikan setelah Indonesia meratifikasi Perjanjian Paris pada 2016 silam.
"Yang ingin kita lihat Indonesia memiliki leadership (kepemimpinan) dalam, misalnya, menunjukkan ambisi untuk meningkatkan komitmen (menurunkan) emisinya," kata Direktur Eksekutif WALHI Nasional Nur Hidayati dalam jumpa pers di kantor Walhi, Jakarta, Kamis (19/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Nur Hidayati, pemerintah seharusnya bersikap tegas, karena Indonesia merupakan negara yang ikut mendapat dampak besar dari bahaya emisi tersebut. Salah satunya, Indonesia secara langsung akan terkena dampak akibat dari perubahan iklim ekstrem seperti kenaikan permukaan laut.
"Walaupun di dalam COP tersebut Indonesia juga memaparkan tentang LCDI (Low Carbon Development Indonesia/Pembangunan Rendah Karbon Indonesia) yang sudah dirumuskan oleh pemerintah Indonesia, tapi perlu dilihat lagi bagaimana LCDI ini, apakah akan benar-benar tercermin dalam RPJMN," kata Nur Hidayati.
Selain itu, ia pun menyayangkan sikap dari negara-negara peserta COP 25 yang tidak menunjukkan sikap ambisius dalam untuk meningkatkan target penurunan emisi dalam Nationally Determined Contribution (NDC).
 Aksi menuntut sikap pemerintahan dunia mengurangi emisi demi mencegah dampak lebih besar dari perubahan iklim. (AFP/Saeed KHAN) |
Konflik AgrariaSelain itu di tingkat domestik, Walhi menilai sepanjang 2019, pemerintah Indonesia masih belum melakukan kebijakan yang tepat sasaran dalam sektor lingkungan hidup.
Salah satunya menyoroti mengenai konflik agraria hingga kini banyak yang belum tuntas. Menurutnya, pemerintah belum memiliki upaya yang sistematis dalam menyelesaikan konflik dengan masyarakat tersebut.
"Kami belum melihat upaya pemerintah mempercepat proses-proses penyelesaian konflik ini," kata Nur Hidayati usai jumpa pers.
Sejauh ini, Hidayati melihat usaha pemerintah untuk mendapatkan investasi sebesar-besarnya tidak selaras dengan penanganan konflik dengan masyarakat, khususnya dalam sektor sumber daya alam (SDA).
Salah satunya,
Omnimbus Law yang sedang digodok pemerintah dalam sektor perekonomian. Walhi menilai hal tersebut seharusnya juga pemerintah lakukan untuk membenahi aturan dalam sektor lingkungan hidup yang masih tumpang tindih.
"Ini juga pekerjaan-pekerjaan rumah tentang kepastian tenurial, hak-hak atas tanah, dan akses masyarakat kepada SDA itu juga harusnya ada percepatan yang sama," katanya.
 Pesan kepada Presiden RI Jokowi untuk membawa Indoensia meninggalkan energi kotor seperti batu bara dan melakukan penyelamatan hutan dipasang aktivis di Patung Dirgantara, Pancoran, Jakarta. (CNN Indonesia/ Bisma Septalisma) |
Dalam hal ini, Walhi merujuk pada TAP MPR Nomor 9 Tahun 2001 tentang pembaruan agraria dan pengelolaan Sumber Daya Alam. Nur Hidayati mengatakan ketetapan tersebut telah meminta Presiden untuk membenahi undang-undang yang tak sejalan dalam sektor lingkungan hidup.
Menurutnya, ketika ambisi Jokowi untuk mempercepat investasi tidak diimbangi dengan penyelesaian konflik dengan masyarakat, hal tersebut hanya akan memperburuk percepatan tersebut.
"Membuat kondisi di lapangan menjadi tidak jelas. Seharusnya ini juga dilaksanakan, bagaimana kepastian terhadap hak-hak masyaraka," kata Nur Hidayati.
Selain itu, pihaknya juga menyoroti sejumlah peristiwa lingkungan hidup lain sepanjang 2019. Salah satunya terkait dengan kebakaran hutal dan lahan (karhutla).
Bukan hanya itu, dari sisi penanganan terhadap pencemaran udara, WAlhi menilai pemerintah hanya menggunakan kebijakan yang bersifat sementara. WAlhasil tak dapat dilihat perbaikan yang signifikan dalam pencemaran udara.
[Gambas:Video CNN]Hal tersebut, membuatnya pesimistis terhadap keadaan global yang berusaha untuk menekan kenaikan temperatur bumi hanya sampai 1,5 derajat celcius.
"Jadi kemungkinan akan melaju terus naiknya sampai di atas 3 bahkan sampai 4 derajat Celcius," ujar dia.
Bagi Indonesia sendiri, hal itu masih menjadi target. Seperti diketahui, Indonesia telah meratifikasi Perjanjian Paris untuk mereduksi emisi karbon dioksida (CO2) dengan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2016.
Dalam hal ini, Pemerintah berkomitmen untuk mengurangi emisi sebesar 29 persen atau setara 834 juta ton karbindioksida (CO2) hingga tahun 2030 dengan pembiayaan sendiri dan 41 persen atau setara 1.081 juta ton CO2 dengan dukungan internasional.
(mjo/kid)