Menanti Negara dalam Pemulihan Fisik dan Psikis Korban Teror

Ryan Hadi Suhendra, Dika Dania Kardi | CNN Indonesia
Jumat, 27 Des 2019 16:12 WIB
Para korban teror bom masa lalu menunggu PP yang memastikan pemberian kompensasi dari pemerintah sebagaimana diamanatkan dalam UU Terorisme.
Peristiwa penyelematan korban pascabom di depan Kedubes Australia, Jakarta, 9 September 2004. (AFP PHOTO/ BAY ISMOYO)
Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah dan DPR telah sepakat untuk menambahkan ketegasan pemenuhan hak bagi para korban aksi terorisme lewat pengesahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme.

Pada beleid terbaru tersebut, hak-hak bagi korban maupun keluarga korban diatur dalam 35 A, 35 B, 36, 36 A, dan 36 B. Selain itu, Menkumham Yasonna H Laoly pada Mei tahun lalu --saat proses pengesahan beleid di DPR-- menegaskan UU tersebut mengatur pemberian kompensasi, termasuk untuk peristiwa bom di masa lalu.

"Itu keputusan politik kita karena masih banyak, setelah teman-teman Pansus ke daerah mendengar, juga pemerintah mendengar para korban, ada yang barangkali belum terselesaikan. Masih ada trauma dan lainnya, itu kita harap bisa diselesaikan," kata Yasonna di kompleks parlemen, Jakarta, 25 Mei 2018.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Keputusan politik DPR dan pemerintah itu pun disambut para korban maupun keluarga korban aksi terorisme, tak terkecuali I Wayan Sudiana (53). Wayan kehilangan istri tercintanya, Widayati, saat peristiwa Bom Bali I di Legian pada 12 Oktober 2002.

Wayan sendiri tergabung dalam Ikatan Suami Anak (ISANA) Dewata yang merupakan wadah korban dan keluarga korban Bom Bali. Kelompok itu berjejaring dalam Yayasan Penyintas Indonesia (YPI) yang menaungi para korban dan keluarga korban aksi terorisme di Indonesia.

"Saya mungkin sampai sekarang dan teman-teman di Yayasan juga korban bom Indonesia berharap adanya kompensasi dan restitusi yang sekarang sedang dibahas dan belum diketok palu. Itu mudah-mudahan cepat realisasinya sehingga korban bisa terbantukan untuk ekonominya, sama yang sampai sekarang ada yang belum ada kerjaan, sehingga nanti dia bisa bisnis kecil-kecilan; warung," ujar Wayan saat ditemui CNNIndonesia.com di kediamannya, Denpasar, Selasa (3/12).

Pun demikian dikatakan Ni Luh Erniati yang kini memimpin ISANA Dewata. Keluarga korban Bom Bali I itu mengatakan dalam rapat terakhir bersama Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), ia meminta agar perhitungan kompensasi tidak hanya dilihat dengan kondisi korban atau keluarga korban sekarang ini. Ia meminta beban hidup yang ditanggung sejak peristiwa bom terjadi juga harus dipertimbangkan.

"Kemarin saya bilang gini, 'kalau bisa ngasihnya tuh pakai hati, jangan dilihat kami yang sekarang ini. Kita kan sekarang sudah fight nih. Kalau kondisi sekarang ini dilihat, kan enggak seberapa," kata Erniati.

"Tapi lihatlah yang kemarin itu saat kami mengalami kejadian sampai bagaimana kami melanjutkan hidup," sambungnya.

LIPSUS KORBAN TERORIS 11: Round Up pemenuhan hak korbanNi Luh Erniati. (CNN Indonesia/Ryan Hadi Suhendra)
Meskipun sudah diatur lewat UU 5/2018, nyatanya pemberian bantuan maupun pemenuhan hak kepada para korban dan keluarga korban teroris itu masih merujuk pada UU LPSK dengan turunannya adalah PP Nomor 7 Tahun 2018. Pasalnya, belum terbentuk peraturan pemerintah tentang pemenuhan hak korban seperti yang diamanatkan pada UU terorisme.

"Saya mendengar [draf PP] sudah ada di meja presiden, tinggal menunggu tanda tangan presiden," ujar Ketua LPSK Hasto Atmo Suroyo saat ditemui pada 25 November lalu.

Meskipun begitu, pemberian kompensasi terhadap korban pun tetap dilaksanakan LPSK. Terakhir diserahkan pada 13 Desember lalu di Kantor Kemenko Polhukam terhadap empat korban terorisme. Total, 450,3 juta diserahkan kepada dua korban terorisme di Tol Kanci-Pejagan, satu korban teroisme di Cirebon, dan satu korban terorisme di Pasar Blimbing Lamongan.

Dalam kegiatan penyerahan kompensasi pada pertengahan tersebut pun Hasto berharap PP segera disahkan Jokowi sehingga pembayaran kompensasi dari LPSK kepada para korban terorisme masa lalu segera bisa dilakukan. Pada kegiatan tersbeut, Hasto menerangkan secara keseluruhan, sejak 2017, LPSK sudah memberikan kompensasi hingga mencapai Rp4,2 miliar untuk korban dan keluarga korban terorisme.

Pemulihan Fisik, Psikis Hingga Kompensasi untuk Korban Teror
Secara terpisah, Direktur Aliansi Indonesia Damai (AIDA) Hasibullah Satrawi yang selama ini turut mendampingi korban-termasuk membantu pemulihan psikis korban untuk berdamai dengan cara mempertemukan dengan pelaku teror-mengapresiasi semangat memenuhi hak korban dalam UU 5/2018.

Ia melihat ada perbaikan dari norma sebelumnya, di mana korban atau keluarga korban harus mengajukan permohonan kompensasi sebelum diputuskan pengadilan. Oleh karena itu, ia berharap dari PP terbaru nantinya mampu memperkuat peran LPSK secara proaktif dalam menentukan korban aksi terorisme.

"Jadi masalah bagaimana kalau ada satu dua orang korban yang belum dapat karena dia enggak tahu bisa dapat apa. Ini juga menjadi warisan dari problem terdahulu. Korban terdahulu tidak dapat kompensasi karena mereka tidak tahu bakal dapat apa. Kita semua tidak sosialisasi tentang hal itu dan ini membuat ketidakadilan bagi korban semakin bertumpuk," kata Hasib saat ditemui pada awal Desember lalu.

Hasib pun berpesan, jangan sampai keistimewaan yang diberikan lewat UU 5/2018 dibandingkan uu terorisme sebelumnya itu menjadi tak spesial dalam implementasinya.

"Saya melihat dari awal tentang hak korban itu pada akhirnya bukan soal kealfaan, bukan soal kesengajaan, karena ini soal kemanusiaan," kata dia.

Di satu sisi, Hasib pun mengapresiasi wadah korban yang juga proaktif membantu--termasuk saat ada aksi teror baru--sehingga hak para korban maupun keluarganya yang harus dipenuhi negara tak terbengkalai.

LIPSUS KORBAN TERORIS 11: Round Up pemenuhan hak korbanDirektur AIDA Hasibullah Satrawi. (CNNIndonesia/ Dika Kardi)
Ketua Yayasan Penyintas Indonesia (YPI) Sucipto Hari Wibowo mengatakan, "YPI ini menciptakan kebersamaan, kemandirian, dan mengubah korban jadi penyintas. Itu yang penting sih, karena itu bisa mengubah hidup mereka. Karena kalau hak-hak tapi jiwanya masih sakit, kasihan mereka."

YPI sendiri, kata Sucipto, beragenda utama menjadikan korban-keluarga korban itu penyintas. Salah satu caranya, selain mendukung lewat forum, mereka pun berjuang bersama untuk sembuh secara psikis dengan membuang 'sampah' emosi dan trauma akibat aksi terorisme.

"Itu enggak mudah, itu susah banget. ada yang kita coba, kandidatnya misalnya siapa nih. udah mau ngomong belum? Kita enggak paksain, karena cerita itu 'buang sampah'," ujar pria yang menjadi korban bom di depan Kedubes Australia, Jakarta pada 2004 silam.

Pemulihan Fisik, Psikis Hingga Kompensasi untuk Korban Teror
Titik paling tinggi untuk memastikan korban sudah jadi penyintas adalah ketika mereka menggelar pertemuan dengan mantan pelaku teror yang difasilitasi AIDA. Tapi, kata dia, itu tak bisa langsung dilakukan terhadap korban maupun keluarga korban.

"Pertama, step itu kita buang sampah dulu. Cerita dengan sesama dulu, curhat sama jurnalis, tokoh agama, murid sekolah. Kalau dia sudah bisa jalani itu, step berikutnya mereka harus bertemu dengan mantan pelaku," ujar Sucipto saat ditemui pada akhir November lalu.

Pertemuan pun tak langsung berhadap-hadapan, tapi dari jauh. Saat berhadap-hadapan, korban dan mantan pelaku akan didampingi anggota tim 'perdamaian'.

"Itu ada yang gagal, enggak semua langsung berhasil, kita coba lagi, tapi tidak langsung saat itu juga. Kita tidak akan memaksakan. Tapi teman-teman semuanya, komunitas ini support dia, buang saja sampahnya. Apa yang dirasa, apa yang bisa kita bantu. Proses korban jadi penyintas ini adalah agenda utama dari YPI," tutur Sucipto.

[Gambas:Video CNN]

Selain itu, kata Sucipto, untuk pemulihan baik psikis maupun fisik para korban dan keluarga korban pun dipenuhi haknya oleh negara lewat LPSK.

Hal tersebut pun dibenarkan Ketua LPSK Hasto saat ditemui di kantornya pada waktu yang berbeda.

"LPSK membentuk satgas khusus untuk kasus-kasus terorisme ini. Namanya satgas sakti, saksi dan korban tindak terorisme. Dan setiap ada kasus terorisme nantinya, satgas ini lah yang akan bergerak lebih dulu," kata Hasto.


Artikel ini merupakan bagian dari serial Liputan Khusus CNNIndonesia.com dengan tajuk Bertahan dari Luka Terorisme. Simak selengkapnya di sini.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER