Jakarta, CNN Indonesia -- Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (
LPSK) mengaku jumlah permohonan perlindungan kepada pihaknya meningkat sepanjang 2019. Namun, pihaknya justru mendapat anggaran dengan jumlah terkecil dalam lima tahun terakhir.
Hal itu dikatakan dalam acara 'Catatan LPSK: Refleksi 2019 dan Proyeksi 2020', yang dihadiri tujuh pimpinan LPSK, Selasa (7/1) di Matraman, Jakarta Timur.
"Di tengah menanjaknya permintaan layanan, LPSK harus berhadapan dengan kenyataan minimnya dukungan dan perhatian pemerintah kepada para saksi dan korban," kata Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia menyebut alokasi dana yang diterima LPSK untuk anggaran 2020 merupakan anggaran terendah dalam lima tahun terakhir.
Diketahui, anggaran LPSK pada 2015-2018 berada di kisaran Rp75 miliar hingga Rp150 miliar. Namun, di 2020 anggaran LPSK turun ke angka Rp 54 miliar.
 Foto: CNNIndonesia/Basith Subastian |
"Enggak realistis anggaran tersebut," aku Hasto.
Sementara, lanjutnya, ada peningkatan permohonan perlindungan. Rinciannya, pada 2019 pihaknya mendapat 1983 permohonan atau naik 41,45 persen dari tahun sebelumnya yang mencapai 1401 permohonan.
Kasus tindak pidana lain (bukan tindak pidana prioritas LPSK) menempati rangking teratas dengan 553 permohonan. Di posisi kedua, kasus kekerasan seksual anak 350 permohonan, kasus terorisme 326 permohonan.
Selanjutnya, kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat 318 permohonan; Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) 162 permohonan; kasus korupsi 67 permohonan; kasus penganiayaan berat 40 permohonan; penyiksaan 11 permohonan; kasus narkotika sembilan permohonan; dan tindak pidana pencucian uang 6 permohonan.
Selain itu, kata Hasto, LPSK dituntut untuk tetap memberikan sejumlah layanan prima kepada ribuan orang terlindung, dan sejumlah program yang masih berjalan.
Program-program itu misalnya adalah perlindungan fisik saksi kasus korupsi, bantuan medis sesaat setelah peristiwa terorisme, pemberian kompensasi bagi korban terorisme masa lalu, rehabilitasi medis dan psikologis bagi korban pelanggaran HAM berat, hingga pemulihan korban kejahatan seksual.
[Gambas:Video CNN]"Dengan kondisi seperti ini, LPSK mengkhawatirkan kondisi penurunan anggaran yang semakin memprihatinkan. Jika hal tersebut dilakukan, terdapat kemungkinan adanya penghentian layanan yang dilakukan LPSK atau pengurangan kualitas layanan yang selama ini diberikan kepada korban," tutur Hasto.
Meski begitu, LPSK bersyukur tak lagi berstatus sebagai Satuan Kerja (Satker) di Kementerian Sekretariat Negara (Setneg) dan resmi menjadi lembaga mandiri terhitung mulai Januari 2020. Artinya, anggaran tak lagi melalui Setneg.
"Mudah-mudahan ini menjadi langkah awal yang bagus, agar LPSK betul-betul dibantu oleh berbagai pihak terutama Komisi III, sehingga LPSK bisa menunjukkan sebagai lembaga yang mandiri," tandasnya.
(khr/arh)