Jakarta, CNN Indonesia -- Juru Bicara Kementerian Agama, Oman Fathurahman, mengapresiasi usulan Imam Besar
Masjid Istiqlal, Nasaruddin Umar agar pemerintah mengkaji ulang pelajaran
fikih di pondok pesantren karena dianggap masih produk era Perang Salib.
Oman menyatakan proses pengkajian ulang pelajaran fikih bisa dilakukan melalui penafsiran dan kontekstualisasi ulang dengan kondisi Indonesia saat ini.
"Usulan untuk mengkaji ulang pelajaran fikih di pesantren tentu sangat baik, tentu yang dimaksud di sini adalah melakukan penafsiran dan kontekstualisasi ulang. Kitab dan teksnya bisa tetap, tapi penafsirannya yang diperkaya," kata Oman kepada
CNNIndonesia.com, Kamis (11/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski demikian, Oman tak mengatakan bahwa Kemenag bakal merevisi kitab fikih yang digunakan oleh pesantren.
Oman hanya mengatakan kurikulum pelajaran di pesantren selama ini ditentukan oleh para kiai dan pimpinan pesantren sesuai kekhususan masing-masing.
"Bukan [direvisi] oleh Kemenag. Kemenag hanya memfasilitasi hal-hal yang diperlukan untuk terlaksananya penyelenggaraan pendidikan sesuai yang digariskan dalam UU No 18 Tahun 2019 tentang Pesantren," kata Oman.
Lebih lanjut, Oman mengutarakan pandangannya bahwa pelajaran Fikih selalu dinamis dan berubah seiring konteks zaman. Ia menyatakan yang tidak bisa berubah hanya pokok dasar ajaran Islam seperti ajaran soal Ketuhanan.
"Kalau ajaran fikih, semuanya bisa berubah sesuai konteks dan kebutuhan zaman," kata Oman.
Oman menilai penafsiran dan pengayaan konteks dalam memahami teks-teks keagamaan seperti pelajaran Fikih juga bukan hanya perlu dilakukan di pesantren.
Ia juga berharap hal serupa turut dilakukan di jenjang sekolah dan madrasah. Bahkan, lembaga-lembaga pendidikan keagamaan semua agama juga bisa melakukan upaya tersebut.
"Ini semua perlu dilakukan agar masing-masing umat beragama memiliki wawasan keagamaan yang luas, terbuka, dan tidak terjebak pada upaya menghadap-hadapkan wawasan keagamaan dengan komitmen kebangsaan," kata Oman.
Atas dasar itu, Oman menyatakan Kementerian Agama sejak tahun lalu sudah menggaungkan konsep Moderasi Beragama. Konsep itu, kata dia, menekankan prinsip bahwa mengamalkan ajaran agama adalah berarti menjalankan kewajiban sebagai warga negara.
"Sebagaimana halnya menunaikan kewajiban sebagai warga negara adalah wujud ketaatan pengamalan ajaran agama. Jadi, tidak perlu ada pertentangan antara fikih beragama dengan 'fikih' bernegara," kata Oman.
Sebelumnya, Nasarudin Umar menggaungkan kepada pemerintah untuk mengkaji ulang pelajaran fikih di pesantren jika hendak menangkal paham radikalisme.
Nasarudin menilai pelajaran Fikih di pesantren saat ini masih mempertentangkan antara negara Islam dengan negara bukan Islam khas era Perang Salib.
Dia menyebut fikih era Perang Salib mengusung tiga konsep negara, yaitu Darul Islam, Darul Harb (negara musuh), dan Darul Sulh (negara yang tidak menganut Islam, tetapi bersahabat).
"Kitab-kitab fikih yang kita pelajari sebetulnya produk-produk, sebagian besar produk Perang Salib. Maka itu konsep kenegaraan itu masih ada Darus Silmi, negara Islam. Kalau bukan negara Islam, berarti Darul Harb, negara musuh," kata Nasaruddin kemarin.
(rzr/bac)
[Gambas:Video CNN]