Pembungkaman kebebasan berekspresi masih terjadi. Modusnya beragam, mulai dari ancaman yang menimbulkan rasa takut hingga penggunaan prosedur hukum. Belakangan, ada Bintang Emon, seorang komika yang melontarkan kritik berbalut komedi, namun justru diancam, difitnah, bahkan dilaporkan ke Kementerian Komunikasi dan Informatika.
April lalu, ada pula Saiful Mahdi, seorang akademisi di Aceh yang divonis bersalah oleh pengadilan karena melakukan pencemaran nama baik setelah mengkritik jabatan/institusi pendidikan tempat ia bekerja. Tentu saja, dua kasus ini kontroversial.
Sekilas tak ada yang keliru dengan laporan terhadap Bintang Emon dan Saiful Mahdi. Pasalnya, laporan diajukan menggunakan prosedur hukum. Namun, ini sesungguhnya bukanlah laporan biasa. Dalam terminologi universal, fenomena ini disebut Strategic Lawsuit against Public Participation (SLAPP), sebuah istilah yang diperkenalkan pertama kali oleh Penelope Canan dan George W. Pring pada 1988.
SLAPP sendiri merupakan fenomena gugatan atau tuntutan hukum terhadap seseorang atau suatu kelompok yang melakukan advokasi atau mengkritik persoalan politik dan publik. Tujuannya tidak secara murni untuk memulihkan hak sebagaimana tuntutan atau gugatan pada umumnya, tapi sekadar mengintimidasi dan membungkam suara atau tindakan pengkritik dengan memanfaatkan prosedur hukum dan fasilitas peradilan.
Ironisnya, fenomena seperti ini tidak terjadi kali ini saja. Menilik ke belakang, ada Budi Pego, seorang aktivis lingkungan yang dituntut secara pidana setelah melakukan demonstrasi penolakan tambang emas. Ada pula Joko Hariono, seorang buruh yang dituntut pidana setelah mengkritik perusahaan tempat ia bekerja.
Bahkan, memori kita diingatkan kembali pada Prita Mulyasari, yang tidak hanya dituntut secara pidana tapi juga digugat secara perdata setelah mengkritik sebuah rumah sakit pada 2012 silam.
Persoalan ini serius. Sebab, kebebasan berekspresi telah dijamin konstitusi dengan Pasal 28, 28C ayat (1) dan (2), 28E ayat (3), dan Pasal 28F UUD Negara Republik Indonesia 1945.
Serangkaian pasal ini pun mewajibkan negara untuk mencegah pelbagai ancaman dan pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi setiap orang. Bahkan, kewajiban negara itu dipertegas lagi dengan Pasal 28G ayat (1) dan 28I ayat (4) UUD NRI 1945.
SLAPP telah menjadi fenomena global. Dalam perkembangannya, banyak negara akhirnya sadar dan berupaya untuk menanggulangi praktik buruk ini. Upaya ini berujung pada perlindungan secara nasional melalui aturan-aturan yang berfungsi untuk mempersulit, membatasi, bahkan menutup kemungkinan bagi siapapun untuk mengajukan gugatan atau tuntutan hukum yang semata-mata dimaksudkan untuk membungkam kebebasan berekspresi.
Nomenklatur untuk tipologi aturan ini adalah "peraturan anti-SLAPP." Namun demikian, perlu dipahami bahwa peraturan anti-SLAPP tetap tidak mengurangi akses gugatan atau tuntutan hukum bagi siapapun untuk tujuan-tujuan yang pantas.
Washington D.C. pun dalam sejarahnya tercatat sebagai negara pertama yang membentuk peraturan ini, yaitu pada 1989. Di ASEAN, berdasarkan laporan Business and Human Rights Resource Centre (BHRRC) pada Maret 2020, hanya Filipina yang memiliki peraturan ini hingga sekarang.
Bila dicermati, Indonesia sesungguhnya punya peraturan anti-SLAPP, namun ruang lingkup peraturannya masih sektoral. Ini ada di dalam UU No.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Bunyinya, "setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun secara perdata." Artinya, tidak ada satupun tuntutan dan gugatan yang dibenarkan terhadap setiap orang yang menggunakan kebebasan berekspresi dalam konteks membela hak atas lingkungan hidup.
Peraturan anti-SLAPP di Indonesia sendiri belum mencakup skala makro kebebasan berekspresi. Padahal, ancaman SLAPP terhadap kebebasan berekspresi amat luas dimensinya; mulai dari SLAPP terhadap aksi pembela HAM dan aktivis lingkungan hidup, terhadap protes buruh dalam dunia bisnis, terhadap kritik di dunia akademis seperti yang dialami Saiful Mahdi, hingga kritik terhadap isu politik tak ubahnya yang dialami Bintang Emon.
"Pemanfaatan" prosedur hukum dan fasilitas peradilan pada kasus Bintang Emon, Saiful Mahdi, Budi Pego, Joko Hariono, Prita Mulyasari, dan kasus-kasus serupa lainnya untuk membungkam kebebasan berekspresi harus patut dibaca sebagai "noktah hitam dalam lembar putih demokrasi."
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di tengah ketiadaan peraturan menyeluruh tentang anti-SLAPP begini, menghadapi jeratan SLAPP dan mengadvokasi korban-korbannya tentu menjadi pekerjaan yang berat.
Harapan terakhir sesungguhnya ada di pengadilan (red: hakim). Sayangnya, ini pun masih menyisakan persoalan pelik. Sebab, tidak sedikit hakim-hakim di Indonesia yang wataknya formalistik-positivistik; menyempitkan penalaran hukum terbatas pada larangan atau aturan-aturan tertulis saja.
Dalam hal ini, ketiadaan peraturan anti-SLAPP seolah-oleh menjadi kebuntuan bagi para hakim dalam mengadili kasus-kasus SLAPP. Padahal, pengadilan sepatutnya mengaktifkan fungsinya sebagai tempat keadilan bermekaran, bukan sekadar tempat peraturan ditegakkan. Atau, jangan-jangan, bahwa hakim merupakan "corong undang-undang" adalah benar.
Kenyataan ini mendesak negara untuk membentuk proyek legislasi peraturan anti-SLAPP yang menyeluruh secara nasional pada masa mendatang.
Ada setidaknya tiga alasan pembenar untuk proyek legislasi ini.
Pertama, negara memiliki kewajiban konstitusional untuk melindungi kebebasan berekspresi, tak ubahnya ditegaskan Pasal 28I ayat (4) UUD NRI 1945. Kewajiban ini mencakup dilakukannya upaya-upaya memadai guna mencegah ancaman dan pelanggaran dari siapapun terhadap hak asasi dan kebebasan dasar setiap warga negara terjadi, tak terkecuali terhadap kebebasan berekspresi.
Kedua, proyek legislasi peraturan anti-SLAPP merupakan modalitas penting untuk menjaga demokratisasi di Indonesia. Dalam hal ini, walaupun demokrasi tidak identik dengan hak asasi dan kebebasan dasar manusia, parameter kualitatif dan indeks demokrasi suatu negara sekarang amat bergantung pada baik atau buruknya jaminan penghormatan, pemenuhan, dan perlidungan terhadap hak asasi dan kebebasan dasar manusia, termasuk kebebasan berekspresi di dalamnya.
Ketiga, bila ditelaah kembali, proyek legislasi peraturan anti-SLAPP sesungguhnya bukan hal baru di Indonesia. Seperti diuraikan sebelumnya, bahwa UU No.32/2009 telah mengawali semangat anti-SLAPP di Tanah Air, kendati masih sektoral ruang lingkupnya.
Fenomena SLAPP sepatutnya dipandang sebagai persoalan serius oleh negara. SLAPP tidak hanya menjadi noktah hitam bagi demokrasi, yang hingga sekarang masih bertumbuh dan berkembang dengan tertatih-tatih. Namun, SLAPP sekaligus melecehkan martabat hukum dan menghina keadilan seiring dengan dimanfaatkannya prosedur hukum dan fasilitas peradilan untuk tujuan-tujuan yang tak pantas, seperti membungkam kebebasan berekspresi.