Sebuah pagi pada Januari lalu, menjadi pagi yang tak pernah dilupakan oleh Surati, perempuan berusia 59 tahun. Usai salat Subuh, ia diingatkan oleh anaknya untuk tidak tidur lagi dan bersiap-siap untuk mengungsi ke mesjid.
Kala itu, hujan deras mengguyur Jakarta sejak sebelum malam pergantian tahun, bagi warga yang tinggal tak jauh dari sungai, hujan deras yang tak kunjung berhenti, seharusnya menjadi alarm untuk waspada.
Namun, ajakan anaknya untuk mengungsi tak dihiraukan Surati meski air sudah masuk ke lantai dasar rumahnya. Alih-alih mengungsi ke masjid, ia memilih bertahan di lantai dua.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Anak saya keluar. Saya memilih di lantai 2. Pikiran saya waktu itu, ah nanti-nanti juga surut, karena biasanya banjir besar itu Februari," kata dia kepada CNNIndonesia.com saat itu.
Namun, ternyata, air tak kunjung surut. Ia terjebak di lantai dua rumahnya dan baru bisa dievakuasi 12 jam kemudian.
"Dari subuh sampai jam 5 sore (terjebak). Akhirnya dijemput pakai ban sama anak saya, itu juga aksesnya susah," kata dia.
Kisah Surati itu mewarnai perjalanan Jakarta menuju usia ke- 493 tahun. Di Ibu Kota ini, gubernur silih berganti, tapi banjir tak pernah pergi. Banjir awal tahun itu, termasuk salah satu banjir besar yang melanda Jakarta.
Kali ini, Pemprov DKI Jakarta mengusung tema Jakarta Tangguh dalam HUT ke-493. Ada enam simbol yang masing-masing memiliki arti filosofis dalam acara tahun ini. Mereka adalah Monas (jati diri Jakarta); MRT (lambang kemajuan dan pelayanan masyarakat); mentari (harapan); masker (suasana pandemi dan perlindungan); tiga tangan mengepal (ketangguhan dan kolaborasi); serta lingkaran garis hitam (ketegasan untuk melokalisir covid-19).
Jika melihat ke belakang, banjir besar pernah terjadi pada tahun 1600-an, saat Jakarta masih bernama Batavia, lalu terjadi lagi pada 1918. Usai Indonesia merdeka, banjir besar juga pernah terjadi pada awal 1976.
Di dekade 2000-an, banjir besar pernah melanda Jakarta pada 2002 dan 2007. Banjir 2007 membuat setidaknya 80 jiwa melayang dan 320 ribu jiwa mengungsi.
Banjir besar lagi-lagi menerjang Jakarta pada 2015, saat itu, curah hujan masuk kategori ekstrem, yakni 170 mm per hari.
Empat tahun berselang, tepatnya saat malam pergantian tahun 2020, banjir kembali menerjang Jakarta, setidaknya 15 persen warga terdampak banjir awal tahun itu.
"Banjir itu klasik ya, untuk penanganan banjir ini kelihatannya masih problem berat, karena kemarin banjir Januari itu, ada perdebatan terkait dengan konsep antara normalisasi dan naturalisasi," kata Pengamat Tata Kota, Yayat Supriatna saat dihubungi CNNIndonesia.com, Jumat (19/6).
Diketahui, normalisasi adalah program yang telah dilaksanakan sejak era Jakarta dipimpin Joko Widodo (kini Presiden) hingga Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, lalu Djarot Saiful Hidayat.
Sementara di era kepemimpinannya Anies Baswedan, ia kerap mengungkapkan konsep lain, yakni naturalisasi.
Lewat naturalisasi, Anies mengenalkan konsep pengembangan ruang terbuka hijau dengan tetap memperhatikan kapasitas tampungan untuk mengendalikan banjir. Berbeda dengan kebijakan normalisasi, Anies meninggalkan konsep turap beton.
Tidak hanya masalah banjir, melansir World Economic Forum, Jakarta menjadi kota yang paling berpotensi tenggelam. Permukaan tanah Jakarta disebut menurun hingga 6,7 inci per tahun karena pemompaan air tanah yang berlebihan.
Karena hal itu, sebagian besar kota Jakarta diprediksi tenggelam pada tahun 2050.
![]() |
Selain banjir, kemacetan juga merupakan masalah yang harus dihadapi warga ibu kota setiap hari. Permasalahannya semakin parah seiring dengan bertambahnya penduduk dan penggunaan kendaraan pribadi.
Berdasarkan Traffic Index 2017, Jakarta pernah berada di peringkat ke-4 kota termacet di dengan tingkat kemacetan 61 persen, hanya kalah dari Mumbai, New Delhi dan Bogota.
Peringkat ini lalu mengalami penurunan pada 2017, Jakarta berada di peringkat ke-7 dengan tingkat kemacetan 53 persen, dan kembali mengalami penurunan peringkat ke-10 pada 2019. Namun di 2019, tingkat kemacetan Jakarta tetap berada di angka 53 persen.
Yayat menuturkan komitmen Pemprov dalam mengatasi masalah kemacetan sudah terlihat. Ia mengatakan hal itu berdasar adanya pembenahan sarana dan prasaranan pada transportasi publik di Jakarta.
Pembenahan itu, kata dia, berkaitan langsung dengan upaya mengurangi kemacetan.
"Pembenahan stasiun-stasiun yang terintegrasi sudah cukup bagus, antara Transjakarta, Kereta Api, MRT dan sebagainya. Pembenahan di sektor layanan transportasi umum memang ada peningkatan, Jak Lingko juga," ucap dia.
Dengan adanya pembenahan itu, kata dia, yang perlu ditingkatkan ke depan adalah soal pemanfaatan layanannya.
![]() |
Akhir tahun lalu, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memang sempat menyatakan strategi besar yang akan dia lakukan demi menghalau kemacetan di Jakarta, yakni dengan memindahkan pengguna kendaraan pribadi ke angkutan umum.
Lebih lanjut, Yayat menilai, pengurangan kendaraan pribadi juga akan berefek langsung pada polusi di Jakarta, oleh karenanya, ia juga mendorong Pemprov untuk memperbanyak taman dan ruang terbuka hijau.
"Bagaimana mengarahkan Jakarta jadi kota yang sehat, paradigmanya adalah membuat standar kesehatan menjadi nomor satu. Supaya Jakarta jadi kota yang sehat, seperti udara bersih, menambah RTH, pohon harus diperbanyak," kata dia.
Terkait dengan polusi, pertengahan tahun lalu, 31 warga yang menamakan diri citizen law suit sempat melayangkan gugatan kepada Presiden RI Joko Widodo, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya, Menteri Kesehatan Nila F Moeloek, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Surat registrasi gugatan juga turut mencantumkan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dan Gubernur Banten Wahidin Halim sebagai pihak tergugat.
Gugatan dilayangkan karena pemerintah yang dianggap tidak serius menangani permasalahan polusi udara. Akibatnya, warga Jakarta dan sekitarnya terpaksa harus menghirup udara tidak sehat selama 196 hari selama setahun terakhir.
Berdasarkan arsip CNNIndonesia.com, sejarawan JJ Rizal sebelumnya mengatakan tingkat kriminalitas yang tinggi di Jakarta bermula sejak abad ke-19. Kala itu perampokan dan aksi kriminal lain kerap terjadi.
"Sejak Batavia berdiri, sudah tidak aman. Pemerintah kota tidak serius menangani masalah keamanan, hanya tahu ambil pajak," kata Rizal.
Menurut dia, pemerintah saat itu hanya fokus membuat Jakarta sebagai kota persinggahan, bukan tempat tinggal. Akibatnya masalah keamanan kota tidak terurus.
"Belum lagi masalah preman. Preman dibawa ke Jakarta pada tahun 1982," kata Rizal.
Jika berkaca pada data Badan Pusat Statistik pada 2018, terjadi 34.655 kejahatan yang ditangani Polda Metro Jaya. Angka kejahatan ini merupakan yang tertinggi dari seluruh Polda yang ada di Indonesia.
Wilayah hukum Polda Metro jaya sendiri, diketahui tidak hanya wilayah DKI Jakarta.
![]() |
Sementara pada 2019, Polda Metro Jaya mencatat ada 32.614 kasus kejahatan yang terjadi di wilayah Jakarta dan sekitarnya sepanjang periode Januari-Desember 2019. Jumlah ini penurunan dibanding dengan 2018.
Sementara selama pandemi corona, Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Nana Sudjana menyatakan tingkat kriminalitas di wilayah hukumnya.
Terjadi peningkatan kasus sebesar 10 persen pada April dibandingkan Maret 2020.
"Hasil analisa evaluasi, ada kurang lebih sekitar 10 persen peningkatan kasus kriminalitas yang terjadi kalau kita bandingkan antara satu bulan ke belakang dari bulan Maret sampai dengan bulan April," kata Nana.
Nana mengatakan tindak kejahatan yang meningkat yakni kasus perampokan atau pencurian dengan pemberatan (curat), pencurian kendaraan bermotor, penyalahgunaan narkoba hingga penipuan.
Beragam masalah klasik itu seolah tak cukup melanda Ibu Kota. Permasalahan baru muncul awal Maret lalu. Saat itu, Presiden Jokowi mengumumkan dua warga Indonesia yang terinfeksi corona.
Keduanya merupakan warga Depok, Jawa Barat, yang diduga terinfeksi setelah bertemu dengan seorang warga negara Jepang yang dinyatakan positif corona di Jakarta.
Setelah kejadian itu, Jakarta kemudian menjadi episentrum penyebaran Corona. Hingga Sabtu (20/6), kasus positif virus corona di Jakarta mencapai 9.703 kasus. Dari jumlah tersebut sebanyak 4.821 orang dinyatakan telah sembuh, dan 603 orang meninggal dunia.
Saat ini, menurut Yayat, di tengah gempuran corona dan masalah klasik yang ada di Jakarta, harus ada perubahan pada visi pembangunan Jakarta.
Pemprov Jakarta, kata dia, harus mengurangi program-program yang tidak terlalu penting.
![]() |
Ia berpendapat, setidaknya, ada tiga program yang harus dikedepankan dalam pembangunan Jakarta ke depan. Pertama, terkait dengan program-program kesehatan untuk antisipasi Covid-19
Kedua, kata dia, program terkait dengan pembenahan di bidang transportasi untuk mengatasi kemacetan.
"Yang perlu diperhatikan bagaimana ketika pembenahan ini ke depan, angkutan umum tidak menjadi sumber penularan Covid-19," kata dia.
Ketiga, dia juga meminta Pemprov untuk mengedepankan program penanganan bencana. Di tengah pandemi ini, Pemprov harus tetap menjalankan program-program penanganan bencana tersebut.
"Setiap tahun selalu terkena bencana banjir, ditambah penyakit Covid-19. Jangan sampai mendapat musibah secara bersamaan," kata dia.
(asa/yoa/asa)