Aksi emosional Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini alias Risma dengan bersujud di hadapan kaki seorang dokter disebut sebagai bentuk kegagalan komunikasinya dengan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa.
Kedua pimpinan daerah ini disebut lebih banyak berupaya saling mendominasi ketimbang bekerja untuk masyarakat. Mediasi dipandang perlu untuk menyudahi rivalitas ini.
Sebelumnya, Risma sempat menangis dan mengakui bahwa dirinya tak layak menjadi Wali Kota. Ia kemudian bersujud kepada seorang tenaga kesehatan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketua Pinere RSUD dr Soetomo, Sudarsono, menyebut hal itu bermula saat pihaknya menceritakan kondisi rumah sakit rujukan di Surabaya itu yang telah kelebihan kapasitas atau overload. Hal itu membuat dua pasien meninggal dunia dan yang lainnya tak terawat optimal.
Pihak RSUD, yang berada dalam kontrol Pemprov Jatim ini, juga mengaku sulit menjalin komunikasi dengan Pemkot Surabaya.
Mendengar pernyataan Sudarsono itu Risma kemudian menangis dan bersujud. "Mohon maaf Pak Sudarsono, saya memang goblok, enggak pantas saya jadi Wali Kota Surabaya," cetus Risma.
Padahal, kata dia, Pemkot Surabaya ingin menjalin berkoordinasi tentang penanganan corona (Covid-19) dan sekadar memberikan bantuan alat pelindung diri (APD), kepada tenaga medis yang bertugas di Soetomo.
Aksi ini bukan kali pertema, sebelumnya politisi PDIP itu juga pernah naik pitam lantaran mobil laboratorium polymerase chain reaction (PCR) bantuan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang sedianya diperuntukkan untuk Surabaya, dibawa keluar daerah oleh Pemprov Jatim.
![]() |
Pakar Komunikasi Politik Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Suko Widodo, menilai aksi emosional Risma ini adalah bentuk dari kegagalan komunikasi atau communication breakdown dengan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa.
"Terjadi apa yang disebut dengan communication breakdown. Itu kebuntuan komunikasi, kegagalan komunikasi antara Risma dengan Khofifah," kata dia, kepada CNNIndonesia.com, Selasa (30/6) pagi.
Menurut Suko, ada sejumlah faktor yang menyebabkan terjadinya kegagalan komunikasi politik antara dua tokoh tersebut. Pertama, perbedaan persepsi di antara Risma dan Khofifah. "Terutama soal data," imbuhnya.
Misalnya, Risma sempat mengaku keberatan jika rumah sakit rujukan di Surabaya dipenuhi oleh masyarakat luar daerah. Nyatanya, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Jatim menyebut mayoritas pasien yang dirawat adalah orang yang ber-KTP Surabaya.
Kedua, gaya komunikasi yang sama-sama ofensif dari kedua politikus perempuan ini. "Komunikasi yang ofensif, berlebihan, ada dominasi dari satu pihak," ujarnya.
Hal ini diperparah dengan penggunaan struktur birokrasi dalam menyampaikan pandangan yang bertentangan.
"Kompleksitas struktural itu yang terlalu dipakai. Ini kan ada Bu Khofifah selalu menugaskan dr Joni (Ketua Rumpun Kuratif Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Jatim dr Joni Wahyuhadi), Bu Risma menugaskan Pak Fikser (Wakil Koordinator Hubungan Masyarakat Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Surabaya, M Fikser). ini sebetulnya menurut saya, seperti pertempuran," kata Suko.
Ketiga, faktor emosi yang lebih dikedepankan yang membuat tersendatnya komunikasi.
![]() |
"Kurangnya cara berfikir, dan emotion, emosi yang bermain. Jadi itu beberapa penyebabnya, itu yang membuat komunikasi di antara keduanya menjadi benturan," kata dia.
Masyarakat Bingung
Suko mengatakan buntut dari gagalnya komunikasi antara Risma dan Khofifah tersebut mengakibatkan munculnya kebingungan masyarakat.
"Masyarakat saat ini menghadapi kondisi darurat, agar disiplin, butuh pengendalian. Kalau terjadi double komunado, atau dualisme, itu berbahaya," ucap Suko, yang juga pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Unair, ini.
Ia menganjurkan kesatuan komunikasi antara keduanya dalam memitigasi dan kerja-kerja pengentasan Corona.
"Harus linier lah. Kita sedang membutuhkan itu, kalau tidak nanti masyarakat buat persepsi sendiri-sendiri. Riskan banget itu, kita akan terpuruk. Orang tidak akan menjalankan instruksinya [protokol kesehatan] karena komandonya ya enggak jelas semua," ujarnya.
Ia pun mendorong kedua pihak segera mengakhiri kebuntuan komunikasi kedua pihak. Caranya, melalui jalan dialog dan mediasi. Perlu juga ada tokoh penengah di antara Khofifah dan Risma.
"Harus ada mediasi, sifatnya bisa formal bisa informal. Kalau yang formal ya presiden, kalau yang informal ya tokoh yang memungkinkan dan berpengaruh di antara mereka," kata dia.
"Masing-masing jangan terus offensive, maka dialog menjadi kunci," pungkas Suko.
(frd/arh)