Polisi Tangkap 6 Petani di Sumsel Pembakar Lahan

CNN Indonesia
Jumat, 17 Jul 2020 23:48 WIB
Plang larangan membakar berdiri di lokasi kebakaran lahan gambut milik salah satu perusahaan di Puding, Kumpeh Ilir, Muarojambi, Jambi, Rabu (11/9/2019). Asap kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Jambi telah mengakibatkan aktivitas belajar mengajar di beberapa kota/kabupaten setempat terganggu dan terpaksa diliburkan, sementara upaya pemadaman masih terus dilakukan sejumlah pihak. ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/foc.
Foto: ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan
Palembang, CNN Indonesia --

Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Sumatera Selatan menangkap enam petani yang membuka lahan dengan cara membakar. Enam petani tersebut dianggap telah melanggar maklumat Kapolda Sumsel tentang larangan membakar hutan dan lahan yang berlaku sejak 11 Juni 2020.

Direktur Reskrimsus Polda Sumsel Komisaris Besar Anton Setyawan mengatakan, enam petani tersebut berasal dari tiga daerah yakni empat dari Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI), satu warga Ogan Komering Ilir (OKI), dan satu warga Banyuasin. Penangkapan dilakukan 1 Juli lalu.

Berdasarkan hasil penyelidikan, para petani tersebut melakukan pembakaran untuk membuka lahan milik mereka sendiri yang luasannya berkisar antara 1-5 hektare. Mereka melakukan pembakaran dengan cara memotong tanaman liar, ranting, dan tumbuhan liar, dikumpulkan untuk kemudian dibakar.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Beberapa diantaranya melakukan pembakaran secara mandiri dan sebagian lainnya mengupah orang lain sebesar Rp4 juta untuk membuka lahan seluas dua hektare. Para petani membakar lahan menggunakan alat sederhana seperti korek api dan minyak tanah.

"Berdasarkan pengakuannya mereka ini tahu kalau membakar lahan dilarang, namun tetap mereka lakukan karena cara ini lebih murah. Padahal sejak awal sudah disosialisasikan bahwa membakar lahan itu dilarang," ujar Anton, Jumat (17/7).

Dirinya menjelaskan, berdasarkan maklumat Kapolda Sumsel, semua pihak baik perorangan maupun korporasi dilarang membuka lahan dengan cara membakar karena dikhawatirkan dapat merusak lingkungan, membahayakan kesehatan, dan mengganggu aktivitas masyarakat.

Para petani tersebut diancam pidana penjara 1-15 tahun dan denda Rp1,5-10 miliar karena dikenakan pasal berlapis seperti UU nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, UU nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan UU nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan.

Salah satu petani warga OKI, SR, mengaku mengetahui konsekuensi dari tindakannya membakar lahan. Namun hal tersebut terpaksa dilakukannya karena membuka lahan tanpa dibakar dan menggunakan alat lebih mahal biayanya.

Senada, BG petani warga Banyuasin pun tak memiliki pilihan lain karena terbatas biaya untuk membuka lahan.

"Sebenarnya saya hanya ingin membakar beberapa tumbuhan liat, tapi tidak menyangka bisa merambat luas," ujar dia.

Korporasi Pembakar Lahan

Direktur Ekesekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel Muhammad Hairul Sobri berujar, tindakan membakar lahan oleh para petani tersebut memang berpotensi merusak lingkungan. Namun luasannya yang hanya beberapa hektar, dampaknya tidak akan sebesar pembakaran yang dilakukan korporasi.

Walhi menyebut pembakaran lahan di Sumsel oleh korporasi bisa mencapai ratusan ribu hektar lahan seperti beberapa tahun lalu.

"Tahun lalu juga Polda Sumsel menangkap sejumlah petani kecil, tapi hanya mengungkap beberapa kasus karhutla yang melibatkan korporasi," kata Hairul.

"Ini tentu akan menimbulkan anggapan polisi hanya berani menangkap petani kecil saja dan tidak mampu menangkap kebakaran yang disebabkan oleh korporasi," ujar dia.

Dirinya pun berujar, selain sosialisasi tentang penegakan hukum, yang terpenting saat ini adalah memberikan solusi kepada para petani agar bisa melakukan pembukaan lahan tanpa membakar. Jangan sekadar menangkap para petani tanpa memberikan sosialisasi dan solusi.

"Tahun-tahun sebelumnya pun, kabut asap terjadi akibat luasan kebakaran yang paling besar dari konsesi perusahaan. Seperti PT Bumi Mekar Hijau (BMH) yang lahannya terbakar 20 ribu hektare pada 2014 dan divonis bersalah pada 2015 untuk ganti kerugian negara Rp78 miliar. Meskipun jauh dari gugatan Rp7,9 triliun, namun tetap dinyatakan bersalah," ungkap dia.

Walhi meminta pemerintah tegas untuk melakukan evaluasi terhadap izin perusahaan yang lahan konsesinya pernah terbakar.

Berdasarkan catatan Walhi Sumsel, terdapat delapan perusahaan konsesi yang disegel Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) akibat lahannya terbakar pada 2019 lalu.

Perusahaan tersebut yakni PT Hutan Bumi Lestari dan PT Tiesico Cahaya Pertiwi di Kabupaten Musi Banyuasin, PT Waringin Agro Jaya, PT Dinamika Graha Sarana, PT Mutiara Bunda Jaya, PT Laju Perdana Indah, dan PT Tunas Inti Agro Nusa di Kabupaten OKI, serta PT Dendi Marker Indah Lestari di kabupaten Musi Rawas. Total lahan yang terbakar dari 8 perusahaan ini yakni 5.200 hektare.

"Pelanggaran berulang sanksinya seharusnya lebih berat. Pencabutan izin sangat wajar," kata Hairul.

(idz/wis)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER