Kisruh pemakzulan Bupati Jember Faida disebut tak lepas dari pengelolaan anggaran yang menabrak prosedur dan jalan sendiri tanpa melibatkan DPRD. Pemerintahan Faida, yang merupakan bukan kader parpol ini, pun dicap rawan penyimpangan.
DPRD Kabupaten Jember memakzulkan Bupati Jember Faida dalam rapat paripurna hak menyatakan pendapat, Rabu (22/7). Proses ini menjadi puncak dari hubungan tak harmonis Faida dengan Dewan.
Konflik setidaknya mulai meruncing pada 23 Desember 2019. Saat itu, DPRD Jember menggelar sidang paripurna. Sebanyak 44 dari 45 anggota DPRD Jember sepakat mengajukan hak angket kepada Faida.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dewan saat itu ingin mempertanyakan sejumlah dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Faida. Misalnya, pengabaian teguran Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) terkait mutasi dan pengangkatan sejumlah pejabat di luar mekanisme.
Lihat juga:Kronologi DPRD Makzulkan Bupati Jember Faida |
Selain itu, soal sanksi dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi yang membuat Jember tak mendapat jatah kuota penerimaan CPNS 2019.
Dari sisi masyarakat sipil, Faida dikritik dalam hal transparansi pengelolaan APBD. Koordinator aksi Aliansi Masyarakat Jember (AMJ) Kustiono Musri menyebut Faida menggunakan APBD hanya berlandaskan peraturan bupati, bukan peraturan daerah, yang merupakan produk bersama Pemkab dan DPRD.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pun tak memberikan opini alias disclaimer terhadap pengelolaan APBD Jember 2019, atau turun pangkat dari tahun sebelumnya yang mendapat opini wajar dengan pengecualian (WDP).
Dikutip dari situsnya, BPK menilai ada penganggaran dan realisasi belanja di 13 organisasi perangkat daerah (OPD) senilai lebih dari Rp70 miliar yang dianggap tidak tepat dan melanggar ketentuan perundangan.
![]() |
OPD-OPD itu antara lain belanja pegawai di Bagian Bina Mental, Bagian Humas, Dinas PU Bina Marga, Dinas Sosial, Dinas Pendidikan, BKPSDM, Dispora, Dinas Perhubungan, Dinas Pariwisata, Dinas Cipta Karya, dan Satpol PP.
"TMP atau disclaimer ini menunjukkan bahwa Tim Auditor BPK tidak memperoleh bukti pemeriksaan yang cukup berdasarkan standar pemeriksaan keuangan negara. Dengan artian ada penyimpangan," Ketua DPRD Jember Itqon Sauqi, Selasa (30/6), dikutip dari situs surabaya.bpk.go.id.
Akumulasi kekecewaan itu kemudian memuncak pada Rapat Paripurna DPRD Kabupaten Jember, Rabu (22/7) pukul 11.00 WIB hingga 15.00 WIB. Tujuh fraksi di DPRD pun sepakat untuk mengusulkan pemberhentian Bupati Jember yang dianggap sudah melanggar sumpah jabatan.
"Keberadaan bupati sudah tidak diinginkan oleh DPRD Jember selaku wakil rakyat," kata Itqon, usai rapat paripurna hak menyatakan pendapat, dikutip dari Antara.
Tiga partai pengusung Faida, yang berpasangan dengan Abdul Muqit Arief di Pilkada Jember 2016, yakni PDI-P, Partai NasDem, dan PAN pun ikut mendorong pemberhentian Faida itu.
Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai NasDem Teuku Taufiqulhadi menyebut Faida bukan kader partainya meski mengusungnya dalam pilkada.
"Belum tentu Faida juga senang kalau disebut kader NasDem," ucapnya.
Di saat parpol ramai-ramai menyerangnya, Faida, bersama pasangannya, Dwi Arya Nugraha Oktavianto, mengaku siap maju kembali sebagai petahana di Pilkada Jember 2020 lewat jalur independen.
![]() |
KPU Kabupaten Jember pun menyatakan pasangan Faida-Vian lolos verifikasi faktual dukungan bakal pasangan calon perseorangan dengan mendapatkan 146.687 dukungan.
Selain mendapat tekanan politik dari Dewan, Faida juga didemo oleh ratusan massa Aliansi Masyarakat Jember (AMJ) yang dipimpin K.H. Syaiful Rijal (Gus Syef) yang mendukung proses pemakzulan itu.
Massa tampak bergerak dari Lapangan Talangsari menuju bundaran DPRD Kabupaten Jember dengan membawa sejumlah poster yang berisi kecaman terhadap Faida.
Kustiono menyebut Faida tak pernah melibatkan DPRD dalam mengelola pemerintahan, khususnya terkait anggaran.
"Makin parah dengan adanya pandemi Covid-19 karena perencanaan anggaran penggunaan APBD yang hanya berdasarkan peraturan bupati praktis tanpa peran DPRD sama sekali, bahkan Dewan tidak diberi tembusan terkait dengan anggaran dana COVID-19," kata Kustiono.
Fatwa MA
Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Akmal Malik menilai dinamika di Jember merupakan konsekuensi dari hak pengawasan DPRD dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
"Kemendagri memonitor ini dan meminta Pemprov Jatim untuk memfasilitasi sesuai aturan," kata Akmal kepada CNNindonesia.com, Kamis (23/7).
Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa menilai keputusan pemakzulan merupakan urusan DPRD Jember. Pemprov Jatim akan menunggu proses di Mahkamah Agung.
![]() |
"Itu semua ada prosesnya, dari DPRD ke Mahkamah Agung dulu, kita menunggu fatwa Mahkamah Agung bagaimana, kata Khofifah di Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Kamis (23/7).
Berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemda menyebut DPRD harus menguji keputusan pemberhentian kepala daerah ke Mahkamah Agung (MA). Lembaga terakhir punya waktu 30 hari untuk memutus hal tersebut.
Jika MA mengabulkannya, DPRD harus mengusulkan pemberhentian bupati ke Menteri Dalam Negeri lewat Gubernur. Mendagri wajib memberhentikan kepala daerah tersebut maksimal 30 hari.
Respons Faida
Terkait upaya pemakzulan itu, Faida mengaku akan memantau kepatuhan DPRD terhadap prosedur, yakni mengirimkan hasil rapat kepada MA.
"Kita tunggu apa dewan melaksanakan dengan mengirim berkas putusan ke Mahkamah Agung, baru nanti kita siapkan respons kita," kata dia, di Jember dalam pesan singkat, Kamis (23/7) dikutp dari Antara.
Proses politik itu, katanya, tidak berpengaruh banyak pada aktivitasnya di birokrasi.
"Saat ini, kami tetap menjalankan tugas dan utamanya fokus keselamatan masyarakat dan penanganan COVID-19," kata Faida, yang berlatar belakang pendidikan kedokteran itu.
Dalam rapat paripurna hak menyatakan pendapat di DPRD Jember itu, Faida juga sudah mengirimkan jawaban secara tertulis terkait pendapatnya tentang hak menyatakan pendapat DPRD Jember sebanyak 21 halaman.u_
Dalam surat jawaban itu, Ia mengatakan hak menyatakan pendapat mesti disertai dengan dokumen yang memuat paling sedikit materi dan alasan pengajuan usulan.
![]() |
"Surat DPRD Jember yang kami terima tak memiliki lampiran dokumen materi dan alasan pengajuan usulan pendapat seperti yang diatur dalam aturan tersebut," ujar Faida, dalam surat itu.
Ia juga mengaku telah melakukan semua rekomendasi Mendagri dengan mencabut belasan keputusan bupati dan mengembalikan para pejabat yang dilakukan pengangkaran dalam jabatan pada 3 Januari 2018.
Pengamat administrasi negara FISIP Universitas Jember Hermanto Rohman mengatakan penilaian Bupati Jember bahwa proses di DPRD tidak sesuai prosedur adalah keliru .
"Tidak ada kewajiban pengusul atau pimpinan DPRD Jember untuk menyerahkan berkas materi hak menyatakan pendapat kepada Bupati Jember karena materi itu belum menjadi produk DPRD secara kelembagaan," ujarnya.
(dhf/arh)