Anggota Komisi X DPR RI Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Zainuddin Maliki memperingatkan agar program pelatihan guru besutan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim tak tumpang tindih.
Dia bicara demikian lantaran ada lebih dari satu program pelatihan yang dianggarkan Kemendikbud dalam kurun waktu setahun ke depan. Menurutnya, ada prioritas lain yang seharusnya didahulukan pada pendidikan di masa pandemi covid-19 ini.
"Program guru yang bermacam-macam itu jangan sampai tumpang tindih," katanya kepada CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon, Selasa (8/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Program-program ini juga menurut saya tidak terlalu urgent. Yang lebih urgent selesaikan masalah pandemi ini," lanjutnya.
Zainuddin menilai dampak pandemi memunculkan banyak kendala pada proses belajar di sekolah. Hingga kini, pihaknya masih menerima banyak keluhan dari guru, siswa dan orang tua terkait pembelajaran jarak jauh (PJJ).
Ragam keluhan yang banyak ditemukan terkait siswa yang tak memiliki gawai, tak punya jaringan internet dan listrik, keterbatasan guru menyampaikan materi secara jarak jauh, sampai ketidakmampuan orang tua menjadi pendamping belajar yang efektif.
Menurutnya, Nadiem seharusnya memfokuskan anggaran pendidikan untuk memperbaiki kendala ini. Ia mengatakan pelatihan pun seharusnya diarahkan agar guru bisa menyusun materi PJJ dengan efektif.
"Saya setuju anggaran [pendidikan besar]. Tapi fokusnya yang benar. Fokuskan pada yang paling mendesak, yaitu PJJ. Memang sudah mulai membuka [pembelajaran] tatap muka. Tapi in general kan masih PJJ," ujarnya.
Ia juga menyarankan agar Kemendikbud memberikan pelatihan kepada orang tua. Pasalnya banyak orang tua yang tidak berlatar belakang pendidikan dan tidak mumpuni dalam menggantikan peran guru di rumah.
Zainuddin sendiri ragu akan efektivitas program-program pelatihan yang diusung Nadiem. Pada program sekolah penggerak misalnya, ia khawatir buntutnya akan bernasib seperti program Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) tahun 2003 lalu.
Melalui program RSBI, pemerintah menganggarkan dana lebih untuk sekolah negeri agar menjadi sekolah bertaraf internasional. Namun praktiknya, ia menilai beberapa sekolah negeri reguler justru punya capaian pendidikan lebih tinggi daripada sekolah RSBI.
"SMA reguler tidak menikmati alokasi anggaran sebesar RSBI. Tapi ada saja RSBI yang lulusannya diterima di PTN favorit masih kalah sama reguler. Nah ini [khawatirnya] sekolah penggerak akan begini. Yang nggak ada guru penggerak malah lebih berprestasi," katanya.
Sekolah penggerak merupakan program besutan Nadiem yang berhubungan dengan program Guru Penggerak. Guru Penggerak adalah program pelatihan guru yang dilaksanakan Kemdikbud mulai tahun ini.
Pada program Guru Penggerak, tidak semua guru bisa mengikuti pelatihan. Hanya guru yang dinilai kompeten dan memiliki potensi tertentu yang bisa lolos. Anggota guru penggerak akan diberi pelatihan kepemimpinan, dan bisa menjabat kepala atau pengawas sekolah jika mumpuni.
Sedangkan Sekolah Penggerak adalah sebutan bagi sekolah yang memiliki jumlah kepala sekolah penggerak dan jumlah guru penggerak yang signifikan. Melalui program Sekolah Penggerak, sekolah ini diharapkan dapat menularkan inovasi ke sekolah reguler lainnya.
Kemendikbud menganggarkan Rp2,68 triliun untuk program Sekolah Penggerak dan Guru Penggerak pada tahun 2021. Sebesar Rp652 miliar dialokasikan untuk sertifikasi guru dan tenaga kependidikan; Rp921,55 miliar untuk penjaminan mutu, advokasi daerah dan sekolah.
Kemudian Rp609,4 miliar dialokasikan untuk program peningkatan kompetensi dan kualifikasi guru dan tenaga kependidikan; dan Rp420 miliar untuk pembinaan peserta didik.
Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia Satriwan Salim menilai ragam program pelatihan guru besutan Nadiem bisa berpotensi tak tepat sasaran dan boros anggaran.
Ini karena anggaran pelatihan guru tak hanya meliputi Sekolah Penggerak dan Guru Penggerak. Kemendikbud juga menganggarkan Rp518,8 miliar untuk pelatihan dan pendampingan kurikulum baru. Kurikulum baru ini akan diluncurkan Maret 2021.
Lalu ada Program Organisasi Penggerak (POP) yang ditunda di tahun ini dan bakal dilanjutkan pada 2021. Program pelatihan guru yang melibatkan organisasi masyarakat ini diwacanakan menelan dana hingga Rp595 miliar. Sedangkan seluruh program tersebut bertujuan melatih guru.
"Baik itu via POP, Sekolah Penggerak, Guru Penggerak, satu sekolah ada kemungkinan bisa dapat pelatihan yang sama dengan program berbeda. Akhirnya buang-buang uang negara," katanya kepada CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon.
Ia mengatakan pelatihan guru merupakan persoalan yang belum banyak dipecahkan solusinya oleh Kemendikbud. Ia menilai kendala guru juga tak akan terselesaikan jika pelatihan guru di era Nadiem tak memperhitungkan situasi di lapangan.
Nadiem menargetkan nilai Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) siswa sebagai acuan keberhasilan POP. Menurut Satriwan pelatihan seharusnya didasarkan pada kendala guru di lapangan yang tak bisa diseragamkan.
Pembenahan pada sistem pelatihan guru menurutnya semakin dibutuhkan berkaca dari minimnya peningkatan kompetensi guru dalam beberapa tahun ke belakang.
"Dulu tahun 2015 kami ikut UKG (Uji Kompetensi Guru) Nasional, rata-rata nilai kami tidak sampai 60. Untuk DKI, kami diwajibkan mengikuti UKG lagi Desember 2019 lalu. Dan rata-ratanya turun dari rata-rata nasional. Harusnya kan didiagnosa ini, jadi pelatihan, pembenahan, diintervensi," lanjutnya.
CNNIndonesia.com telah berupaya menghubungi Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Iwan Syahril mengenai hal ini, namun belum mendapat jawaban.