ANALISIS

Kala KPU Tersandera Hasrat Politik Penguasa Lanjutkan Pilkada

CNN Indonesia
Jumat, 25 Sep 2020 14:11 WIB
Pengamat menilai KPU berada di posisi yang tak mengenakkan karena pemerintah dan DPR sepakat melanjut pilkada. KPU mau tak mau harus menjalankan.
KPU dinilai tersandera kepentingan politik partai dan penguasa sehingga tak bisa menunda pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 (CNN Indonesia/ Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia --

Pilkada Serentak 2020 tetap digelar 9 Desember, meski kondisi pandemi virus corona di Indonesia kian memburuk. Komisi Pemilihan Umum (KPU) disebut menghadapi dilema usai DPR RI dan pemerintah enggan menunda pilkada.

Sejak awal pandemi, berbagai kelompok masyarakat menyarankan pilkada ditunda hingga 2021. Pilkada dikhawatirkan memperburuk kondisi pandemi karena akan melibatkan 107 juta orang dalam potensi kerumunan.

Namun, pemerintah dan DPR bergeming. Pemerintah menggelar rapat dengan DPR dan KPU. Pada rapat Senin (21/9), tiga pihak memutuskan pilkada tetap 9 Desember.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Beberapa saat setelah rapat tersebut, Komisioner KPU I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi mengungkap pilkada berisiko jika dilanjutkan. Namun, kata dia, KPU harus menjalankan pilkada selama belum ada perubahan kesepakatan.

"Kalau ditanya siapakah yang kemudian berisiko kalau pilkada ini dijalankan, saya kira kita semua sebetulnya. Faktanya, tadi misalnya di KPU sendiri Pak Ketua, kemudian ada anggota (positif Covid-19)," kata Dewa dalam diskusi daring, Rabu (23/9).

Analis kebijakan publik Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah menilai KPU berada dalam posisi dilematis. Undang-undang Nomor 6 Tahun 2020 mengatur mereka hanya bisa menunda pilkada jika disepakati bersama dengan DPR dan pemerintah.

Sementara di saat yang sama, baik pemerintah ataupun DPR, ogah menunda pilkada. Sehingga mau tidak mau KPU harus menjalankan pilkada yang berisiko di tengah pandemi.

"Ada dua hal, satu, dari sisi kelembagaan itu kan dia harus izin dulu karena legal formalnya. Kedua, KPU dihadapkan pada personalianya sendiri yang banyak terpapar covid," kata Trubus kepada CNNIndonesia.com, Jumat (25/9).

Trubus mengatakan hampir mustahil pilkada ditunda mengingat kemauan politik para penguasa saat ini. KPU hanya bisa mengoptimalkan sumber daya yang ada untuk menyelesaikan tugas penyelenggaraan pilkada.

"Sangat kecil (kemungkinan pilkada ditunda) karena begini persoalannya, satu, soal pertaruhan rezim. Pemerintahan Pak Jokowi tidak mau juga secara martabat dikatakan rapuh, lemah. Nanti digoyang kelompok lain dikatakan plin-plan," ujarnya.

Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Perludem Khoirinnisa Agustyati mengatakan sejak awal KPU tidak dalam posisi yang baik. UU 6/2020 membatasi kewenangan KPU untuk menunda pilkada jika pandemi memburuk.

Pasal 201A membuka kemungkinan penundaan pilkada jika tak bisa dilanjutkan karena terjadi bencana nonalam. Namun pasal 122A ayat (2) menyebut keputusan penundaan harus diputuskan bersama antara KPU, pemerintah, dan DPR.

"KPU seharusnya tidak bergantung (pada pemerintah dan DPR). Kalau punya pendirian, bisa disampaikan. Mengingat tadi, penanggung jawab akhirnya itu penyelenggara pemilu, KPU," kata Khoirunnisa, Jumat (25/9).

Khoirunnisa menilai KPU dalam posisi serba salah saat ini. Mereka harus tetap menjalankan pilkada di tengah pandemi, sedangkan permintaan mereka untuk punya perppu penerapan protokol kesehatan tak dikabulkan.

Dia berpendapat KPU harus lebih berani mengungkap kondisi di lapangan kepada pemerintah dan DPR. Mereka juga perlu membuka diri terhadap berbagai opsi, termasuk penundaan.

"Kalau memang ternyata penyelenggara KPU banyak yang positif covid, di daerah juga situasinya lebih buruk, analisis yang komprehensif diperlukan. Karena bukan tidak mungkin ini ditunda, di perppu ini diperbolehkan, masih ada ruang penundaan," ucapnya.

(dhf/bmw)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER