Proyek Cabut Red Notice Djoko Tjandra Dibanderol Rp10 Miliar

CNN Indonesia
Selasa, 29 Sep 2020 23:27 WIB
Kesepakatan Rp10 miliar itu dilakukan antara Djoko Tjandra dengan pengusaha Tommy Sumardi, kemudian berlanjut dengan sejumlah perwira tingi Polri.
Terpidana kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali Djoko Tjandra (tengah) dibawa petugas kepolisian saat penandatanganan berita acara penyerahterimaan kepada Kejaksaan Agung di kantor Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, Jumat (31/7/2020). ( ANTARA FOTO/M RISYAL HIDAYAT)
Jakarta, CNN Indonesia --

Polri membeberkan bahwa proyek pencabutan red notice atas nama Djoko Soegiarto Tjandra dari basis data Interpol telah disepakati memakan upah biaya sebesar Rp10 miliar. 

Kesepakatan itu dilakukan antara Djoko Tjandra dengan pengusaha Tommy Sumardi yang kemudian berlanjut dengan sejumlah perwira tingi Polri.

"Awalnya Tommy Sumardi mengatakan biayanya Rp15 miliar. Tetapi Djoko Tjandra keberatan dan disepakati sebesar Rp10 miliar," kata kuasa hukum Polri dalam sidang jawaban atas gugatan praperadilan Napoleon Bonaparte di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (29/9). 

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Polri menjelaskan, proses perencanaan itu mulai berjalan sejak Maret 2020. Djoko saat itu meminta Tommy membantu penghapusan red notice atas nama dirinya. 

Kemudian, Tommy Sumardi mendatangi kantor Brigjen Prasetijo Utomo dan meminta untuk dikenalkan kepada Irjen Napoleon Bonaparte. Adapun Napoleon saat itu menjabat sebagai Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri yang salah satu fungsinya adalah membawahi Sekretaris NCB Interpol.

Dalam pertemuan itulah awal mula pembahasan penghapusan red notice Joko Tjandra.

"Tommy Sumardi bersama Prasetijo Utomo menghadapkan Hubinter Polri (Irjen Napoleon) di Gedung TNCC lantai 11. Kemudian, Tommy Sumardi menyatakan ingin mengecek status red notice atas nama Djoko Tjandra dan Divhubinter menyampaikan agar besok kembali lagi," kata dia. 

Kabareskrim Polri Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo (tengah) memberikan keterangan terkait dicopotnya jabatan Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan (Korwas) PPNS Bareskrim Polri dari Brigjen Pol Pratesijo Utomo dalam upacara di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (16/7/2020). Polri secara resmi mencopot Brigjen Pol Prasetijo Utomo dari jabatannya dalam rangka pemeriksaan terkait kasus surat jalan buronan Djoko Soegiharto Tjandra. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/aww.Kabareskrim Polri Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo (tengah) memberikan keterangan terkait dicopotnya Brigjen Pol Pratesijo Utomo dari jabatan Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan (Korwas) PPNS Bareskrim Polri, Jakarta, Kamis (16/7/2020). (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)

Kala itu, Tommy disebutkan telah membawa uang sebesar US$100 ribu atau setara dengan Rp1,4 miliar. 

Uang tersebut kemudian akan dibagi tiga antara Tommy Sumardi, Brigjen Prasetijo, dan Irjen Napoleon Bonaparte.

"Uang sebesar US$100 ribu, kemudian dibagi 3, sebesar US$20 ribu kepada Prasetijo, US$30 ribu untuk TS (Tommy Sumardi), dan US$50 ribu untuk Irjen NP. Namun Irjen NP tidak mau menerima uang dengan jumlah tersebut," kata salah tim kuasa hukum Bareskrim dalam persidangan.

Namun, pada akhirnya mereka menyepakati uang sebesar Rp7 miliar untuk pengurusan red notice. Tim hukum Polri menjabarkan bahwa tersangka Tommy Sumardi menyerahkan uang dalam bentuk dolar AS dan dolar Singapura secara bertahap pada April hingga awal Mei 2020.

Polri menyebutkan bahwa penyidik telah menyesuaikan sejumlah bukti-bukti yang berkualitas seperti kesaksian para saksi, serta bukti-bukti surat lainnya. Oleh sebab itu, penyidik menduga bahwa tersangka dapat dijerat pasal penerimaan suap sebagaimana disematkan saat ini.

Dalam sidang sebelumnya, Napoleon menyatakan bahwa dirinya tidak pernah menerima uang terkait pengurusan red notice Djoko Tjandra dari Tommy Sumardi ataupun Brigjen Prasetijo Utomo.

Dia meyakini bahwa Polri tidak memiliki bukti yang dapat menyatakan dirinya telah menerima suap. Apalagi, kata dia, Polri menuduhkan dirinya menghapus red notice Djoko Tjandra yang mana hal itu di luar dari wewenang jabatannya.

Irjen Napoleon Bonaparte ditetapkan tersangka yang diduga sebagai penerima suap. Dia dijerat dengan Pasal 5 Ayat 2, Pasal 11 dan Pasal 12 huruf a dan b Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2020 tantang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Juncto Pasal 55 KUHP.

Dalam perkara suap tersebut, penyidik menyita uang senilai 20 ribu dolar AS, ponsel termasuk CCTV sebagai barang bukti.

(mjo/pmg)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER