Polri mengungkapkan Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte membantu terpidana Djoko Soegiarto Tjandra dengan cara mengirim surat resmi ke Direktorat Jenderal Imigrasi Kemenkumham soal penghapusan namanya dari daftar pencarian orang (DPO).
Tim kuasa hukum Polri mengungkapkan upaya penghapusan nama Djoktjan dari DPO Imigrasi ini bermula saat Anna Boentaran, yang merupakan istri dari terpidana kasus Bank Bali itu, membuat surat permohonan kepada Napoleon untuk mencabut red notice atas nama Joko Soegiarto Tjandra, pada 16 April 2020..
"Dengan dalil surat permohonan tersebutlah, akhirnya pemohon (Napoleon) menerbitkan surat-surat yang ditujukan kepada Dirjen Imigrasi Kemenkumham," ujar tim hukum Polri, dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (29/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Justru disitulah membuka konsistensi pemohon untuk membantu pribadi Joko Soegiarto Tjandra," tambah dia.
Sebelumnya, Djoko Tjandra bebas keluar masuk Indonesia untuk mengurus e-KTP hingga mengajukan peninjauan kembali (PK) tanpa terlacak imigrasi. Padahal, ia sempat masuk red notice alias notifikasi pencarian buron Interpol.
Djoko Tjandra pun diketahui tak lagi masuk DPO Imigrasi. Polemik soal siap yang paling bertanggung jawab atas hilangnya nama sang buron mengemuka.
Kuasa Hukum Irjen Napoleon, Gunawan Raka, sempat menyebut kliennya itu tak terkait dengan hilangnya status DPO di Imigrasi. Sebab, itu di luar dari kewenangan Napoleon ataupun lembaganya.
"Sehingga keluar masuknya Djoko Tjandra baik ke Malaysia maupun ke mana-mana melalui perbatasan, itu tidak melalui data imigrasi," kata dia, Kamis (27/8).
"Yang ada adalah hapusnya nama Djoko S Tjandra dari daftar SIMKIM (Sistem Informasi Manajemen Keimigrasian) DPO imigrasi tidak ada kaitannya dengan Jenderal Napoleon Bonaparte," imbuhnya.
Menurut Gunawan, Napoleon juga tidak pernah melakukan pencabutan red notice atas nama Joko Sugiharto Tjandra karena penghapusan nama buron itu terjadi secara otomatis.
"Karena faktanya red notice tersebut telah terhapus dari IPSG Interpol Sekretariat Jenderal yang terletak di Perancis, Lyon, sejak tanggal 11 Juli 2014," ujar dia.
Tim kuasa hukum Polri melanjutkan bahwa Napoleon mengetahui bahwa status red notice Djoko Tjandra itu sudah terhapus secara otomatis sejak 2019.
Namun, Napoleon membiarkan hal tersebut. Ia malah memerintahkan pembuatan surat-surat untuk menghapus nama Djoko Tjandra dari DPO di sistem Imigrasi Indonesia.
"Napoleon Bonaparte telah memerintahkan KBP Tommy Arya untuk membuat beberapa produk surat yang berkaitan dengan red notice yang ditandatangani oleh Ses NCB Brigjen Pol Nugroho Slamet Wibowo sampai dengan terhapusnya DPO," kata kuasa hukum Polri.
Selain bersurat kepada Ditjen Imigrasi, Polri menyebut Napoleon juga bersurat kepada Jaksa Agung Muda Bidang Pembinaan pada Kejaksaan Agung RI terkait konfirmasi status red notice. Disebutkan bahwa surat resmi itu bernomor NCB-DivHI/Fax/529/IV/2020.
![]() |
"Faksimili tanggal 14 April 2020 inilah sebenarnya yang mengawali terjadinya tindak pidana tersebut," ujar kuasa hukum Polri.
Hal itu dilakukan setelah Tommy Sumardi mendatangi ruangan Napoleon untuk membicarakan ihwal pegurusan red notice tersebut, pada 13 April 2020. Polri menyebut Napoleon bersepakat dengan Tommy Sumardi soal imbalan Rp7 miliar.
Menurutnya, penerbitan surat tersebut tidak berkaitan dengan tugas pokok dan fungsi Napoleon yang saat itu masih menjabat sebagai Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri. Selain itu, surat tersebut juga dilakukan atas inisiatif pemohon.
Merespons pernyataan Polri, Gunawan Raka tetap menampik bahwa kliennya telah menerima suap untuk menghapus red notice. Menurutnya, uang tersebut hanya merupakan perundingan antara Tommy Sumardi, Brigjen Prasetyo Utomo, dan Joko S. Tjandra.
"Itu runding-rundingan Tommy, PU, Joko S. Tjandra. Saya enggak mau tanggapin lah. Itu katanya katanya," ujar dia, usai persidangan.
Meski demikian, Gunawan meminta agar pihak Bareskrim untuk membawa bukti konkret terkait uang tersebut. Sebab, sejauh ini kliennya tak pernah menerima suap dalam bentuk apapun.
Dalam kasus ini, Napoleon dijerat Pasal 5 ayat (2), Pasal 11 , Pasal 12 huruf a dan Pasal 12 huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 KUHP.
Selain Napoleon, penyidik Bareskrim turut menjerat Brigjen Prasetijo Utomo, Djoko Tjandra, dan pengusaha Tommy Sumardi sebagai tersangka. Tommy dan Djoko diduga menjadi pihak pemberi. Sementara Napoleon dan Prasetijo penerima suap.
(mjo/arh)