Sosok Abubakar Lambogo, Pejuang Sulsel yang Dipenggal Belanda

CNN Indonesia
Jumat, 02 Okt 2020 16:30 WIB
Andi Abubakar Lambogo pejuang asal Sulsel pemimpin Komando Batalion I Massenrempulu yang jadi bagian dari Tentara Republik Indonesia persiapan Sulawesi (TRIPS).
Ilustrasi makam para pejuang kemerdekaan. (ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman)
Jakarta, CNN Indonesia --

Pemerintah Belanda membayar ganti rugi atas kejahatan perang saat memenggal kepala pejuang RI asal Sulawesi Selatan, Andi Abubakar Lambogo pada masa Agresi 1947. Pengadilan Sipil Den Haag pada Rabu (30/9) memerintahkan ganti rugi senilai €874.80 atau setara Rp15 juta kepada sang anak, Malik Abubakar (78 tahun).

Andi Abubakar Lambogo dikenal sebagai pejuang RI asal Sulsel yang memimpin Komando Batalion I Massenrempulu yang menjadi bagian dari Tentara Republik Indonesia persiapan Sulawesi (TRIPS). Jengkal Tanah Air dijaga Abubakar dari upaya Belanda, melalui Kapten Raymond Westerling yang diberi tugas oleh menghancurkan perlawanan di Sulawesi Selatan.

Abubakar Lambogo, pria kelahiran 1913 mendobrak semangat kepemudaan warga Sulsel dengan membentuk dan tergabung dalam Pemuda Nasional Indonesia (PNI) bulan September 1945. Kemudian Badan Pembentuk Rakyat Indonesia (BP-RI) dan Badan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI) yang dibentuk pada Juni 1946.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Cucu dari Abubakar, Ricky Lambogo menyebut sang kakek merupakan pejuang dari kalangan bangsawan yang saat itu memiliki peranan penting dalam perjuangan rakyat Sulsel.

"Dia dulu dijuluki Puang Bakkarang, dan punya peranan bagus di kalangan bangsawan lokal, namun memilih ikut dalam perjuangan," kata Ricky saat dihubungi CNNIndonesia.com, Jumat (2/10).

Abubakar merupakan anak Haji Lambogo Pettana Bali dan Ibu yang bernama I Nambe. Ayah Abubakar merupakan seorang Pabbicara atau Menteri penerangan rakyat di Massenrempulu.

Dari buku yang ditulis Nawir bertajuk Biografi Abu Bakar Lambog, Semasa kecil, Abubakar mengenyam pendidikan layak dibandingkan teman lainnya. Kedudukannya sebagai anak dari seorang Pabbicara membuatnya mampu menimba ilmu di Sekolah Rakyat.

Abubakar kemudian menjadi guru Sekolah Rakyat pada masa penjajahan Belanda. Pada masa penjajahan Jepang ia diangkat menjadi menteri polisi merangkap kepala distrik Ranga.

Abubakar menanggalkan jabatan dan posisi itu dan memilih bergabung dengan masyarakat Massenrempulu memperjuangkan kemerdekaan. Dalam organisasi kepemudaan yang bertujuan mencegah Belanda kembali menjajah Indonesia itu, Abubakar memiliki posisi strategis sebagai Ketua dan Wakil. Garis keturunannya juga mendukung, sehingga mampu dipercaya dalam mengemban posisi sebagai pemimpin.

"Kakek saya memang memilih berjuang dengan rakyat, meskipun jabatannya termasuk terhormat pada saat itu," jelas Ricky.

Gerakan-gerakan perjuangan yang dilakukan Abubakar dan rakyat Massenrempulu itu dilatarbelakangi ketakutan usai rakyat merasakan penderitaan akibat penjajahan Belanda selama ratusan tahun. Perjuangan Abubakar mendapat kecaman dan perlawanan dari Belanda yang masih ingin bercokol di Indonesia.

Puncaknya pada tanggal 13 Maret 1947 di saat Abubakar Lambogo sedang mandi di Salu Wajo bersama dengan pasukannya, pada saat itu tidak disangka-sangka rombongan mendapat serangan dari pasukan Belanda.

Tanpa persiapan, maka mereka berpencar, dan Abubakar terkena tembakan di paha.

Keesokan harinya, pada tanggal 14 Maret 1947, para tahanan lain yang sebelumnya diikat di tiang listrik dekat kantor KNIL dilepaskan, dan diarahkan menuju pasar Enrekang bertemu dengan pimpinan Abubakar.

Namun bukan sosok utuh Abubakar yang ditemui, melainkan kepala Abubakar yang terpenggal dan ditusukkan di bayonet. Tak hanya itu, kepala pejuang itu dipertontonkan di tengah keramaian pasar, di Pasar Enrekang.

Tentara Belanda memaksa satu per satu tawanan untuk mencium kepala pemimpinnya yang sudah ditancapkan di atas bayonet.

Biasanya jika yang tertangkap adalah pimpinan maka mereka akan diberikan perlindungan dan diberikan perawatan oleh Belanda, namun hal ini justru berbanding terbalik dengan yang dialami Abubakar. Menurut Ricky, segala kisah perjuangan itu diungkapkan oleh salah satu penyintas yang masih hidup, Nawa.

"Ada saksi hidup dari pengawal kakek saya, bapak Nawa namanya. Tapi saya tidak tahu masih hidup atau sudah meninggal, dua tahun lalu terakhir kami komunikasi," ujar Ricky.

(khr/ain)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER