Perkumpulan Keluarga Besar Tamansiswa tetap menolak UU Cipta Kerja jika masih mengatur sektor pendidikan. Sebelumnya, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) menjelaskan omnibus law UU Cipta Kerja (Ciptaker) hanya mengatur pendidikan formal di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
Ketua Umum Tamansiswa, Cahyono Agus, menegaskan sektor pendidikan, di manapun lokasinya, tidak seharusnya dikelola seperti badan usaha. Ia menilai hal hasrat mengatur pendidikan dalam UU yang bertujuan mendongkrak investasi itu saja telah mempertegas komersialisasi pendidikan.
"Ketika kemudian ditegaskan di dalam UU yang berorientasi investasi usaha, berarti ini justru menjelaskan pendidikan dapat menjadi usaha," katanya kepada CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon, Senin (12/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dulu kami juga tolak UU RSBI [Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional] karena privatisasi, liberalisasi dan komersialisasi [pendidikan]. Badan hukum pendidikan pun kita tolak. Sekarang menyebut dapat [dengan] izin berusaha, ya itu mempertegas komersialisasi," lanjutnya.
Sebelum UU Cipta Kerja dibahas saja, kata Cahyo, sudah ada sejumlah institusi pendidikan yang diperlakukan seperti badan usaha seperti yang terjadi pada pada Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH).
Ia menyebut PTN-BH harus membayar pajak hingga 30 persen. Perhitungan keuangan pada PTN BH juga dilakukan seperti badan usaha, termasuk perhitungan pendapatan dan peruntungan. Sedangkan UUD 1945 dan UU Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan pendidikan sebagai lembaga nirlaba.
Cahyo mengatakan komersialisasi pendidikan memiliki dampak pada berbagai pihak mulai dari pemerintah, lembaga pendidikan, sampai peserta didik.
Jika pendidikan diperlakukan seperti usaha, ia menilai kewajiban pemerintah untuk memastikan hak pendidikan terjaga bisa berkurang.
Itu, sambungnya, karena instansi pendidikan akan mencari keuntungan dan membiayai kegiatannya dengan kewajiban seperti badan usaha yang umumnya lebih berat ketimbang lembaga nirlaba. Menurutnya hal tersebut akan mempersulit lembaga pendidikan, yang umumnya masih berskala kecil dan menengah.
Komersialisasi pendidikan, katanya, juga bisa berdampak pada rendahnya partisipasi pendidikan karena tidak semua siswa dapat membayar biaya sekolah. Sedangkan, jumlah sekolah negeri tidak sebanyak sekolah swasta.
"Dengan demikian ketika izin seperti ini [perizinan berusaha], harus bayar, konsekuensinya bagi lembaga pendidikan kesulitan, anak didik juga kesulitan," jelasnya.
Untuk itu, ia menegaskan Tamansiswa masih menuntut sektor pendidikan tidak diatur dalam UU Cipta Kerja. Ia pun menjamin pihaknya akan tetap mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi jika perkembangan draf omnibus law tidak memuaskan.
"Kalau tetap seperti itu, maka kita akan mengajukan ke MK. Meminta seluruh pasal yang terkait pendidikan dihilangkan dari UU Cipta Kerja," lanjutnya.
Sebelumnya Jokowi menampik UU Cipta Kerja mendukung komersialisasi pendidikan secara umum. Ia menegaskan hal tersebut merupakan salah satu disinformasi yang tersebar di kalangan masyarakat.
Aturan yang dimaksud mengacu pada Paragraf 12 yang mengatur Pendidikan dan Kebudayaan pada draf yang disahkan di Rapat Paripurna DPR 5 Oktober lalu. Pasal 65 mengatur bahwa perizinan sektor pendidikan dapat dilakukan melalui Perizinan Berusaha.
Perizinan Berusaha sendiri merupakan legalitas yang diberikan kepada pelaku usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya. Ini disebut pada Pasal 1 UU Cipta Kerja.
UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sendiri tidak ada perihal perizinan bagi sektor pendidikan tidak diatur melalui perizinan berusaha.
Syarat pendirian pendidikan formal dan nonformal diatur pada Pasal 62 UU Sisdiknas yakni meliputi isi pendidikan, jumlah dan kualifikasi pendidikan dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana pendidikan, pembiayaan pendidikan, sistem evaluasi dan sertifikasi, serta manajemen dan proses pendidikan.