Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengklaim Undang-undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) bakal memberikan perlindungan hukum dan menekan kriminalisasi terhadap masyarakat di kawasan hutan adat dan sekitarnya.
Ini dimungkinkan dengan adanya Pasal 29A dan 29B pada Paragraf 4 yang mengatur soal kehutanan. Melalui dua pasal yang disisipkan tersebut, KLHK bakal memberikan landasan hukum bagi perhutanan sosial.
"Pemerintah yang mengedepankan masyarakat harus bisa peroleh akses legal. Khususnya yang kita kenal dengan izin perhutanan sosial. Kita akhirnya sepakat untuk memasukkan kegiatan perhutanan sosial dalam pasal 29A dan pasal 29B," ujar Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendroyono melalui konferensi video, Senin (12/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk diketahui, perhutanan sosial adalah sistem pengelolaan hutan dalam kawasan negara atau hutan adat yang diberikan kepada masyarakat sekitar hutan atau masyarakat hukum adat.
Menurut draf UU Cipta Kerja dari Rapat Paripurna di DPR, Pasal 29A mengatur perhutanan sosial sebagai pemanfaatan hutan lindung dan hutan produksi.
Pemanfaatan hutan yang dimaksud mengacu pada Pasal 26 dan Pasal 28, yakni berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, serta pemanfaatan dan pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu.
Pasal 29B menyebut bahwa pemanfaatan dan kegiatan perhutanan sosial dilakukan menggunakan perizinan berusaha. Namun ketentuannya akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah, artinya tidak sama dengan perizinan berusaha untuk perusahaan.
Bambang menjelaskan UU Cipta Kerja akan memberikan kepastian hukum, kawasan, dan kerja bagi masyarakat di sekitar hutan adat. Kriminalisasi juga bisa ditekan.
Pasalnya, dalam izin perhutanan sosial yang berlandasan hukum, masyarakat yang menebang atau melakukan kegiatan di kawasan hutan tidak bisa dihukum.
Namun, ketentuan ini hanya berlaku bagi masyarakat yang berada dan tercatat dalam kawasan perhutanan sosial seluas 12,7 juta hektare yang sudah ditentukan pemerintah. Bagi masyarakat di luar kawasan itu tetap diberikan sanksi administrasi.
"Kalau pun ada kekhilafan, maksimal itu sanksi administrasi. Demikian juga kalau belum ada izin yang diberikan dirjen PSKL, pasal yang mengatur normal sanksi kami dorong untuk diberikan sanksi administrasi saja kepada masyarakat," katanya.
Kendati begitu, sejumlah aktivis lingkungan menilai beleid lain pada UU Cipta Kerja masih memungkinkan kriminalisasi terhadap masyarakat.
Walhi misalnya, mengkritik dihapusnya ketentuan Ayat (2) Pasal 69 UU No. 32 Tahun 2009 di UU Cipta Kerja. Pasal tersebut mengatur syarat memperhatikan kearifan lokal ketika menjerat hukum orang yang melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar.
"Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan dengan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing," tulis Ayat (2) Pasal 69 UU No. 32 Tahun 2009.
Dihapusnya Pasal 38 tentang pembatalan izin lingkungan melalui keputusan pengadilan tata usaha negara juga diprotes. Walhi menilai langkah itu menghilangkan hak masyarakat mengadukan izin lingkungan yang tak beres melalui proses peradilan.
(fey/sfr)