Salah satu Tetua Adat (amaf) Besipae di Desa Pubabu, Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur (NTT), Niko Demos Manaoh buka suara soal konflik lahan antara masyarakat Adat Besipae dan pemerintah setempat yang kembali memanas.
Niko membantah bahwa konflik perebutan lahan yang kembali memanas dalam beberapa hari terakhir di Besipae terjadi antara masyarakat adat Besipae dengan warga pendatang.
"Yang sebenarnya yang kira-kira, yang ada itu mereka dari mana. Kami sama-sama orang dari situ, yang datang adalah keluarga kami," kata Niko lewat sambungan telepon kepada CNNIndonesia.com, Jumat (16/10) malam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Niko membantah bahwa masyarakat adat Besipae yang tinggal di kawasan hutan adat Pubabu memiliki hubungan tidak baik dengan warga pendatang. Dia menilai klaim pemerintah soal masyarakat pendatang keliru, sebab mereka yang bukan keturunan asli juga merupakan orang Timur.
Menurut Niko, klaim pemerintah itu justru hanya ingin menunggangi bentrok yang sebenarnya murni terjadi karena penolakan masyarakat setempat terhadap alih fungsi Hutan Adat Pubabu. Klaim pemerintah, katanya, justru hanya ingin memecah belah hubungan antar masyarakat.
"Kami sama-sama orang dari situ, yang datang adalah keluarga kami. Yang saat ini kita melihat, yang menyerang itu jangan melihat itu saja bahwa ini indikasi kami ini ditunggangi, ini kalau menurut saya ini belum pastikan, tapi untuk memecah belah," kata dia.
Niko menyebut, sejak bentrok kembali memanas pada 14 dan 15 Oktober lalu, hingga kini setidaknya ada 47 rumah warga yang digusur dan dibongkar.
Bentrok pertama kali terjadi pada 18 Agustus lalu yang mengakibatkan 29 rumah warga dibongkar. Teranyar, 18 rumah kembali dibongkar pada bentrok yang terjadi beberapa hari lalu.
Atas bentrok itu, Niko berharap Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTT segera mengambil upaya untuk menyelesaikan masalah tersebut. Menurut dia, masyarakat adat Besipae hanya ingin pengakuan terhadap keberadaan Hutan Adat Pubabu agar dikembalikan ke masyarakat setempat.
Ia meminta pemerintah melaksanakan rekomendasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) agar dilakukan pemetaan ulang terhadap Hutan Adat Pubabu. Ia meminta pemerintah menghentikan sementara upaya penggunaan lahan dan dilakukan pendekatan persuasif kepada masyarakat.
"Pemerintah ini bahwa masyarakat di situ ingin ada pengakuan terhadap hutan adat kami. Kedua, masyarakat minta supaya Pemerintah Provinsi [NTT] betul jangan ada pembiaran terhadap kasus ini karena ini sejak 2008, karena kami melihat ada unsur pembiaran," katanya.
Konflik yang terjadi di Hutan Adat Pubabu adalah konflik panjang yang bermula sejak 1982 seiring proyek percontohan intensifikasi Peternakan Besipae (penggemukan sapi) kali pertama dicanangkan Gubernur NTT kala itu.
Usai kontrak pinjam lahan itu habis setelah lima tahun, keinginan pemerintah untuk kembali memperpanjang kontrak untuk memanfaatkan lahan di sana mendapat penolakan dari masyarakat.
Penolakan itu berbuntut pada ambil alih hutan Adat Pubabu oleh pemerintah melalui sertifikat Hak Pakai No.00001 yang terbit tertanggal 19 Maret 2013 untuk memanfaatkan lahan seluas 37,8 meter persegi.
Sementara itu, Kepala Biro dan Protokol Pemprov NTT, Marius Ardu Jelamu menyebut bahwa sejumlah warga yang menyampaikan penolakan terhadap rencana pemerintah adalah masyarakat pendatang di area hutan adat Pubabu.
Sementara, masyarakat adat justru menerima dan mendukung rencana pemerintah yang kembali ingin memanfaatkan lahan tersebut.
"Jadi pemilik tanah itu sangat senang karena pemerintah mau mengembangkan potensi di sana. Namun sejumlah orang yang dari dulu tinggal di situ tapi bukan pemilik mereka tidak rela kalau Pemprov mengembangkan lahan itu," ujar Marius pada Jumat (16/10).
(thr/end)