Din Ingatkan Adagium Islam soal Pemimpin Abai Suara Rakyat

CNN Indonesia
Kamis, 22 Okt 2020 18:09 WIB
Din Syamsuddin mengutip adagium etika politik Islam untuk merespons sikap pemerintah yang mengabaikan suara rakyat terkait omnibus law maupun penundaan pilkada.
Presiden Joko Widodo (tengah) saat mengangkat Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia, Din Syamsuddin sebagai utusan khusus presiden untuk dialog dan kerja sama antaragama dan peradaban pada 23 Oktober 2017. (CNN Indonesia/Christie Stefanie)
Jakarta, CNN Indonesia --

Ketua Umum Dewan Nasional Pergerakan Indonesia Maju (DN-PIM) Din Syamsuddin menyampaikan sebuah adagium dalam etika politik Islam soal gugurnya kewajiban rakyat kepada pemimpin.

Din mengutip adagium lama untuk merespons sikap pemerintah yang mengabaikan suara rakyat, mulai dari penundaan Pilkada 2020 hingga pembatalan Omnibus Law UU Cipta Kerja.

"Ada adagium dalam etika politik Islam, tidak ada kewajiban taat kepada pemimpin yang istilah arabnya bermaksiat kepada Allah, yang melanggar aspirasi rakyat," kata Din dalam webinar bertajuk Dampak Omnibus Law terhadap Otonomi Daerah dan Berbagai Aspek Lainnya, Kamis (22/10).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Presidium Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) juga menyitir Sila keempat Pancasila. Menurutnya, pemimpin yang baik adalah pemimpin yang secara hikmah dan bijaksana mendengar suara rakyat.

Din mengkhawatirkan sikap pemerintah ini berdampak buruk. Sebab menurutnya, sejarah mencatat pemimpin yang bersikukuh terhadap pendapatnya sendiri tak akan berujung baik.

"Kalau ini terus-menerus terjadi, tidak ada titik temu, pemimpin merasa benar, merasa punya kuasa, terakhir sudah ada penilaian, baik pakar dalam dan luar negeri, masalah besar bangsa ini ada gejala pembangunan kediktatoran konstitusional," ucapnya.

Massa yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) berunjuk rasa menolak pengesahan Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja,  di depan Gedung DPRD Kota Cilegon, Banten, Selasa (20/10/2020). Mereka mendesak pemerintah agar membatalkan UU tersebut karena dinilai merugikan buruh. ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman/hp.Massa yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) berunjuk rasa menolak pengesahan Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja di depan Gedung DPRD Kota Cilegon, Banten, Selasa (20/10/2020). (ANTARA FOTO/ASEP FATHULRAHMAN)

Sebelumnya, pemerintah dan DPR sepakat mengesahkan Omnibus Law UU Cipta Kerja. Pengesahan dikebut di tengah penolakan berbagai elemen masyarakat terhadap undang-undang tersebut.

Dampaknya, aksi unjuk rasa digelar di sejumlah daerah sejak Senin (5/10) saat RUU Cipta Kerja disahkan di Rapat Paripurna DPR RI. Buruh dan mahasiswa jadi motor penggerak demonstrasi di berbagai pelosok negeri.

Meski begitu, undang-undang tersebut tak kunjung dicabut. Presiden Jokowi justru menyebut aksi unjuk rasa disebabkan disinformasi dan hoaks. Ia pun menganjurkan para pihak yang menolak untuk menggugat ke Mahkamah Konstitusi.

Kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko mengatakan Presiden Joko Widodo bakal segera menandatangani Omnibus Law UU Cipta Kerja. Penandatanganan itu menurutnya tinggal menunggu waktu.

"Setelah ditandatangani oleh beliau, segera diundangkan dalam lembaran negara," ujar Moeldoko dalam rekaman yang dibagikan oleh KSP, Rabu (21/10).

Moeldoko mengatakan Jokowi telah berkomunikasi dengan sejumlah pihak terkait undang-undang tersebut. Dari komunikasi itu, ia memastikan bahwa Omnibus Law UU Ciptaker tidak akan terhenti dan bakal terus berjalan.

(dhf/pmg)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER