
Aput, pria yang berprofesi sebagai penjual ayam, telah tinggal di bantaran Sungai Ciliwung sejak 1987.
Hidup lebih dari 30 tahun di bibir sungai membuat Aput familiar dengan bencana banjir akibat luapan Sungai Ciliwung.
Hampir setiap tahun Aput berhadapan dengan banjir, apalagi rumah yang dia bangun berada tepat di bibir sungai.
Namun meski tinggal di bibir sungai dan jadi yang paling pertama diterjang banjir, Aput tetap berlaga santai.
Banjir siaga 3 masih bisa dihadapi dengan santai, bahkan sambil ditemani secangkir kopi.
Rumah tiga tingkat jadi kunci Aput santai menghadapi banjir.
Selama banjir belum menutup keseluruhan rumah dan listrik masih mengalir, maka dia akan tetap bertahan di rumah yang dia bangun sendiri.
Betah bukan kata-kata yang cocok untuk menggambarkan kenapa Aput rela bertahan lama di bantaran Sungai Ciliwung.
Namun dia lebih memilih hidup bersama banjir di istana sendiri daripada harus direlokasi dan aman dari banjir tapi kehilangan hak atas rumahnya.