Pakar Otonomi Daerah Indonesia Djohermansyah Djohan menyatakan jabatan kepala daerah seperti gubernur tidak bisa serta merta dicopot oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Seorang kepala daerah bisa saja dicopot hanya jika melakukan pidana, itu pun setelah melalui prosedur panjang.
Pernyataan Djohermansyah ini merespons Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2020 Tentang Penegakan Protokol Kesehatan untuk Pengendalian Penyebaran Covid-19 yang dikeluarkan oleh Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian.
Di dalamnya disertakan bahwa kepala daerah bisa saja diberhentikan jika tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah dan wakil kepala daerah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tidak bisa langsung dicopot, kalau langsung dicopot bahaya sekali karena kepala daerah itu dipilih oleh masyarakat," kata Djohermansyah kepada CNNIndonesia.com, Kamis (19/11).
Pencopotan kepala daerah langsung, kata Djohermansyah hanya merugikan masyarakat. Kata dia, pemilihan kepala daerah menggelontorkan biaya yang tidak sedikit.
"Jadi kalau diciopot sayang sekali, rugi sekali negara ini membayar pesta demokrasi selama ini," beber dia.
Djohermansyah menuturkan bahwa pencopotan kepala daerah hanya dapat dilakukan ketika ia melakukan pidana. Hal ini tertuang dalam Undang Undang nomor 23 tahun 2014 yakni seorang kepala daerah yang melakukan pidana akan diberhentikan sementara.
"Misalnya ia melakukan korupsi, dengan statusnya itu dia akan diberhentikan sementara sampai dengan kasus hukum inkrah," jelas Djohermansyah.
Selanjutnya, jika kepala daerah sudah menyelesaikan kasus hukumnya, ia masih harus dikembalikan ke pemerintah pusat untuk dibina. Di sana kepala daerah akan diberi wawasan pasca kasus hukum yang dihadapi.
"Istilah disekolahkan lagi ditarik sama pemerintah pusat untuk dilakukan pembinaan. Karena itu tanggung jawab pemerintah pusat untuk menjaga marwah pemimpin daerah," beber Djohermansyah.
Kemudian jika kepala daerah kembali melakukan kesalahan untuk kedua kalinya, maka akan diberikan sanksi bertahap. Seperti sanksi kebanyakan, kepala daerah akan mendapat sanksi teguran lisan dan teguran tertulis.
"Baru setelahnya dikenakan pencopotan atau pemberhentian. Ini tidak melalui DPRD lagi karena prosedurnya sudah panjang," jelas dia.
"Ini dapat saya katakan karena saya termasuk yang menyusun UU nomor 24 itu, jadi tidak bisa ditafsirkan secara parsial undang undang tersebut," lanjut dia.
Menanggapi kasus pelanggaran protokol kesehatan di masa COVID-19 yang termaktub dalam instruksi Tito, Djohermansyah beranggapan belum ada aturan yang pas untuk dikenakan kepada kepala daerah. Pidana juga belum bisa dijatuhkan kepada kepala daerah yang dianggap tidak mengikuti protokol kesehatan tersebut.
"Sampai sekarang kan masih jadi perdebatan. Kalau kepala daerah melanggar pidana, lantas pidana apa yang dilakukan oleh kepala daerah sehingga harus dicopot?" tutup dia.
(gil/ctr/gil)