Vaksin menjadi aset paling ampuh untuk menghadapi penyakit infeksi untuk menghindari epidemi hingga pandemi.
Beragam jenis virus yang ada membuat penggunaan vaksin harus tepat, seperti campak dan rubella yang menggunakan vaksin MR.
Namun beragam kultur dan keyakinan, sering menjadi tantangan para tenaga kesehatan dalam melakukan vaksinasi. Misalnya yang sempat terjadi di Jawa Timur, sebelum berhasil memberikan vaksin MR kepada masyarakat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kadang kala, kita tidak bisa edukasi langsung ke masyarakat, tapi dengan pendekatan kultural. Jadi kita merapat kepada tokoh masyarakat, tokoh agama, para pimpinan wilayah, kemungkinan berikan pemahaman dulu pada tokoh-tokoh tersebut. Kemudian mereka akan berikan sosialisasi, pemahaman ke masyarakat," ungkap Dr. dr. Kohar Hari Santoso, Direktur RSSA Malang dan Ketua Tim Tracing gugus tugas COVID-19 Jatim dalam dialog produktif dengan tema "Belajar dari Sukses Vaksin MR di Jawa Timur dan Peran Media dalam Vaksinasi" di Media Center Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN), Selasa (17/11/2020).
Tak hanya berhenti pada edukasi vaksin, tapi masyarakat juga harus mendapatkan penjelasan yang cukup mengenai KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi), yang bisa terjadi.
"Kami sudah siapkan tim, ahli-ahlinya, para dokter untuk antisipasi kalau ada efek samping, kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI). Itu kita sudah siapkan," ujar Kohar.
KIPI sendiri bukanlah hal yang menakutkan, karena biasanya bersifat ringan. Namun, pencegahan untuk mengurangi resiko kejadian ikutan ini tetap harus dilakukan.
"Sebelum disuntikkan (vaksin), yang bersangkutan harus kita periksa dulu, apakah kondisinya cukup fit, cukup sehat. Sehingga kalau kita suntikkan vaksin, bisa tumbuh daya tahannya, atau kekebalannya, atau antibodinya," ujar sang dokter.
"Kalau dia dalam kondisi sakit, padahalkan kita masukkan penyakit yang sudah kita lemahkan, itu malah bisa menjadi kejadian ikutan (KIPI). Tapi kejadian ikutan yang paling sering terjadi adalah reaksi panas dan pada umumnya bisa diatasi dengan diberikan obat.", tambahnya.
Ia juga menyatakan anggapan bahwa biaya vaksin mahal juga keliru.
"Saya setuju bahwa biayanya (vaksin) tidak sedikit. Tapi mahal itu kan menjadi relatif, dibandingkan dengan nanti kejadian kalau sampai sakit, atau cacat, itu bebannya lebih tinggi, lebih mahal lagi biayanya. Berhitungnya lebih sulit lagi," tegas Dr. Kahar.