Ahli pengendalian pencemaran udara, Dollaris Riauaty Suhadi mengingatkan pemerintah pusat dan daerah untuk tidak menunda pelaksanaan pedoman organisasi kesehatan dunia atau WHO terkait pengendalian pencemaran udara yang sudah terjadi selama puluhan tahun.
Hal itu disampaikan Dollaris dalam sidang lanjutan gugatan warga negara (Citizen Lawsuit) tentang polusi udara Jakarta di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (25/11).
"Memang tidak ada sanksi apa pun dari WHO karena ini sifatnya pedoman. Tetapi jika tidak ditaati ini dampaknya kepada meningkatnya risiko kesehatan masyarakat Indonesia," kata Dollaris sebagaimana rilis Koalisi Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta (Koalisi Ibu Kota).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Dollaris, jika pemerintah belum mampu melakukan penelitian atau analisis dampak kesehatan terhadap suatu kondisi lingkungan, maka mengadopsi kebijakan negara lain merupakan jalan terbaik.
"Ini menyangkut keselamatan manusia, jadi enggak boleh kemudian menunda atau menunggu sampai kita melakukan studi di negara sendiri," imbuhnya.
Dollaris menambahkan, ketika studi epidemiologi membutuhkan biaya mahal dan sumber daya yang besar, maka pemerintah seharusnya tidak mengorbankan masyarakat terkena dampak pencemaran dengan risiko kerugian yang meluas.
Ia menyatakan Pemprov DKI Jakarta dan pemerintah pusat sebenarnya telah memiliki peraturan perundangan mengenai baku mutu udara ambien (BMUA) yang harus dipenuhi. Namun, menurutnya, saat ini aturan baku mutu itu tak dipenuhi.
Lebih lanjut, Dollaris berujar bahwa pemerintah perlu menyusun strategi dan rencana aksi pemulihan kualitas udara yang berisi upaya-upaya untuk mengendalikan pencemaran udara.
Untuk menyusun rencana aksi tersebut, lanjut dia, pemerintah perlu melakukan inventarisasi emisi dan pemantauan kualitas udara terlebih dahulu.
"Yang ideal itu setiap kebijakan harus berbasis ilmiah, jadi harus tahu apa yang dikendalikan," imbuhnya.
"Jadi, ketika kita harus menyusun suatu kebijakan basisnya itu dulu. Kalau tidak, bagaimana kita tahu apa yang harus kita kendalikan, sumbernya dari mana saja," lanjut Dollaris.
Gugatan warga negara tentang polusi udara Jakarta telah dimulai dengan mengirimkan notifikasi kepada tujuh tergugat pada 5 Desember 2018 silam.
Tujuh tergugat itu merupakan pejabat pemerintahan, yakni Presiden Republik Indonesia (Tergugat 1), Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Tergugat 2), Menteri Dalam Negeri (Tergugat 3), Menteri Kesehatan (Tergugat 4).
Lalu Gubernur DKI Jakarta (Tergugat 5), Gubernur Banten (Turut Tergugat 1) dan Gubernur Jawa Barat (Turut Tergugat 2).
Ada pun aturan yang digugat untuk direvisi salah satunya Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.
Berdasarkan data alat pemantau kualitas udara DKI Jakarta, konsentrasi rata-rata tahunan untuk parameter Ozone (O3), PM 10 dan PM 2.5 selalu melebihi ambang batas normal.
Dalam catatan alat pemantau kualitas udara Kedutaan Amerika Serikat di Januari hingga Oktober 2018, masyarakat Jakarta Pusat menghirup udara "tidak sehat" selama 206 hari untuk parameter PM 2.5. Sedangkan di Jakarta Selatan, total hari dengan kualitas udara yang buruk mencapai 222 hari.
Alat pemantau tersebut mencatat partikel debu halus yang dihirup manusia yakni PM 2.5 ada di atas 38 µg/m³, bahkan di hari-hari tertentu mencapai 100 µg/m³.
Padahal, merujuk pada World Health Organization (WHO) ambang batas aman udara yang dihirup manusia untuk PM 2.5 adalah 25 µg/m³.
(ryn/gil)