Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil terlibat perdebatan dengan Menko Polhukam Mahfud MD. Berawal saat RK menyebut nama Mahfud jadi sumber rentetan polemik kerumunan massa usai Rizieq Shihab pulang ke Indonesia.
Emil, sapaan Ridwan Kamil, menyatakan Mahfud mesti tanggung jawab karena memberi izin penjemputan Rizeq di Bandara Soekarno-Hatta. Merespons tudingan itu, Mahfud meminta RK kalem, tak perlu panik lantaran cuma diminta keterangan oleh polisi. Selepas itu, sahut-sahutan berlanjut. Mengisi ruang media sosial.
Drama adu mulut menteri dan kepala daerah bukan kali pertama terjadi sejak pandemi covid. Mei lalu, nuansa saling menyalahkan juga terjadi. Tiga menteri Kabinet Indonesia Maju kompak mengkritik Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan lantaran masalah bantuan sosial.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menko PMK Muhadjir Effendy, dan Menteri Sosial Juliari Batubara kompak menyerang Anies, ribut-ribut di ruang media sempat terjadi.
Pengamat Komunikasi Politik Anang Sudjoko menilai fenomena silang pendapat antara pusat dan daerah mencerminkan adanya kekacauan dalam tata kelola komunikasi pemerintahan.
"Dalam perspektif komunikasi organisasi, jadi ada sebuah koordinasi yang tidak solid di pemerintah pusat," kata Anang saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (17/12).
Menurut dia, kekacauan komunikasi internal itu bisa jadi disebabkan karena dua hal. Pertama, karena kemampuan komunikasi menteri yang kurang, dan kedua karena lemahnya kepemimpinan seorang Presiden.
Namun, jika melihat kekacauan komunikasi ini sudah terjadi berkali-kali, ia menduga penyebabnya adalah karena lemahnya kepemimpinan seorang presiden.
"Akarnya itu bahwa menteri itu bekerja untuk presiden, apa yang dilakukan kementerian itu kan sifatnya membantu tugas presiden," kata dia.
"Kalau sampai keluar (pernyataan) begitu saja kemudian menimbulkan kekacauan dan presiden tidak melakukan tindakan yang sifatnya menyelesaikan masalah yang berkali-kali terjadi. Nah ini ada apa? ini kan semakin kuat indikasi kelemahan kepemimpinan seorang presiden," kata dia.
Lebih lanjut, ia menyatakan buruknya komunikasi pusat dengan daerah akan kontraproduktif dan mengganggu jalannya pemerintahan di daerah. Menurutnya, kebijakan pemerintah daerah harus seiring dengan pemerintah pusat.
"Hal yang paling kecil kemarin waktu Mahfud bilang tidak masalah soal jemput HRS. Seorang Menteri Polhukam seharusnya punya data intelijen yang kuat, tapi ternyata tidak. Akhirnya ketika melontarkan begitu aja, yang terjadi apa? Ridwan Kamil dipanggil (polisi), Anies dipanggil," ucap dia.
Dalam konteks kerumunan Rizieq itu sendiri, ia mendukung pernyataan Ridwan Kamil di depan publik yang meminta Mahfud untuk ikut bertanggung jawab.
"Ridwan Kamil menurut saya tepat, dilontarkan saja. Kalau itu sudah keluar (pernyataan) ke publik itu, sudah sebuah kekecewaan. Kalau kita bicara etika organisasi pemerintahan, ketika terjadi perbedaan, tidak boleh keluar. Tapi ini namanya sudah kacau, ada yang sudah kecewa berat, jadi dilontarkan saja," kata dia.
Saling menyalahkan pusat-daerah sejak Covid-19
Pengamat Komunikasi Politik Kunto Adi Wibowo menyatakan komunikasi pemerintah pusat dan daerah semakin tampak buruk sejak pandemi Covid-19 terjadi di Indonesia.
Komunikasi yang buruk itu, kata dia, tercermin dengan adanya tindakan saling menyalahkan. Dalam hal penanganan Covid-19 sendiri, ia berpendapat permasalahan komunikasi pusat-daerah dikarenakan adanya benturan kepentingan.
"Kalau urusannya Covid-19 pandemi ya kita harus nurut sama epidemiologi. Nah mungkin ada benturan kepentingan. Entah itu kepentingan ekonomi sama epidemiologi dan segala macam. sehingga kadang ketika daerah sudah pakai pertimbangan epidemiologi, pusat pakai pertimbangan yang lain," ucap dia.
Pengamat Komunikasi Politik Emrus Sihombing menilai pemerintah perlu segera membenahi manajemen komunikasi. Bahkan, kata dia, jika perlu dibuat job description masing-masing.
"Komunikasi harus di-manage, job description. Yang mana merupakan otoritas pemerintah pusat tentang komunikasi, mana yang pemerintah daerah," ucap dia.
Ia lebih lanjut juga menyarankan agar pejabat publik di pusat maupun daerah belajar etika komunikasi, sehingga perdebatan kontraproduktif di publik bisa dikurangi.
"Bimbingan tekniklah, bimtek. Paling tidak bisa mengurangi," ucap dia.