Keputusan menggratiskan Vaksin Corona bagi seluruh masyarakat dianggap sebagai bentuk veto dari Presiden Joko Widodo atas kebijakan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto.
Dengan begitu, penuntasan pandemi bisa lebih cepat, yang pada akhirnya berdampak positif pula pada pemulihan ekonomi. Namun, pemerintah tetap mesti merinci mekanisme vaksinasi gratis itu.
Presiden Jokowi menyatakan akan memberikan Vaksin Corona secara gratis usai mendengar masukan dari masyarakat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi setelah menerima masukan dari masyarakat dan setelah kalkulasi ulang, melakukan perhitungan ulang mengenai keuangan negara, dapat saya sampaikan vaksin Covid untuk masyarakat gratis," kata dia, Rabu (16/12).
Padahal sebelumnya Terawan, lewat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/Menkes/99860/2020 yang diteken pada 3 Desember menetapkan dua skema vaksinasi.
Yakni vaksinasi skema biasa di bawah kendalinya, dan vaksinasi mandiri, yang kemudian ditafsirkan sebagai berbayar, yang diatur oleh Menteri BUMN Erick Thohir.
Rinciannya, kata Terawan, 32 juta diberikan lewat skema subsidi pemerintah dan 75 juta diberikan lewat skema mandiri.
Direktur Eksekutif KedaiKOPI Kunto Adi Wibowo menyatakan penggratisan vaksin ini dilakukan lantaran Jokowi melihat porsi vaksinasi yang ditetapkan Kemenkes ini akan sulit untuk mencapai target 80 persen populasi untuk herd immunity.
Hal ini, kata dia, akan mempersulit pemulihan ekonomi Indonesia yang terdampak Covid-19.
"Kalau kebijakan [porsi vaksinasi] 70 dan 30 [persen] itu susah tercapai, perjalanan bebas Covid-19 akan lebih panjang dan berat kemudian berefek pada pemulihan ekonomi. Jadi ini pilihan yang mau tidak mau diambil Jokowi, harus menggratiskan vaksin," katanya, kepada CNNIndonesia.com, Kamis (17/12).
Menurutnya, langkah Jokowi mengubah kebijakan setelah mendapatkan desakan publik ini tidak bisa dibandingkan dengan sikapnya dalam merespons kasus Omnibus Law Cipta Kerja (UU Ciptaker).
"Skema 30 dan 70 itu bukan Jokowi yang bikin, itu Kemenkes. Jadi Jokowi gunakan hak vetonya kali ini untuk kemudian memperbaiki kebijakan Kemenkes itu," ujar Kunto.
"[Sementara] Omnibus law dulu memang Jokowi yang ingin dari awal dan sangat susah menggeser apa yang beliau inginkan," imbuh dia.
Kunto juga menyebut kebijakan vaksin gratis ini akan membuat situasi politik nasional lebih kondusif. Tingkat kepercayaan masyarakat pun, lanjutnya, meningkat sejak kedatangan 1,2 juta vaksin buatan Sinovac, pada Minggu (6/12).
"[Tingkat kepercayaan publik] Sudah lumayan naik, walau ada kontroversi vaksin bayar atau tidak tapi adanya kedatangan vaksin sudah cukup membuat kepercayaan pada Jokowi naik," imbuhnya.
Diketahui, Menteri BUMN sekaligus Ketua Pelaksana Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) Erick Thohir sempat khawatir ekonomi Indonesia tidak akan tumbuh hingga Juni 2022 jika pandemi tak juga selesai.
![]() |
"Kalau kita tidak bisa menyelesaikan pandemi Covid-19, tidak mungkin kita akan tumbuh pada kuartal II tahun 2022," ujar Erick Thohir dalam seminar daring di Jakarta, Rabu.
Hal ini sejalan dengan prediksi epidemiolog dari Universitas Airlangga Windhu Purnomo yang memperkirakan pandemi baru selesai setidaknya pada pertengahan 2022.
Itupun jika pemerintah hanya mengandalkan vaksinasi paling tidak kepada 15 juta orang atau 30 dosis vaksin per bulan dan tanpa ada penolakan dari warga.
"Jadi kalau kita hanya sekedar mengandalkan penyelesaian pandemi dari vaksin, maka baru bisa selesai pertengahan 2022," ujarnya, saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (17/12).
Namun, bagi Ketua MPR RI Bambang Soesatyo, keputusan Pemerintah yang membebaskan biaya vaksinasi Corona menunjukkan keberpihakan pada kesehatan warga.
'Dengan pemerintah menanggung semua beban pembiayaan vaksinasi, keputusan itu menjadi aktualisasi dari politik hukum negara yang menempatkan kesehatan dan keselamatan rakyat sebagai hukum tertinggi di masa pandemi," ujar dia, dalam keterangan tertulisnya.
"Masyarakat sangat antusias dengan rencana program vaksinasi corona. Antusiasme masyarakat itu harus didukung dengan informasi yang benar dan akurat dari pemerintah," imbuh politikus yang akrab disapa Bamsoet ini.
Rincian Teknis
Soal perubahan kebijakan vaksinasi, Windhu menilai itu bukan masalah karena jajaran pelaksana vaksinasi tinggal mengubah hal-hal teknisnya.
"Kalau ada perubahan skema enggak masalah, karena dalam kebijakan itu bisa berubah kalau memang dirasa apa yang direncanakan semula tidak tepat," kata dia.
Salah satu hal teknis yang mesti diatur lagi ialah soal pemberian vaksin kepada masyarakat berusia di bawah 18 tahun dan di atas 59 tahun.
"Seharusnya yang [memiliki] comorbid (penyakit penyerta) dan 60 tahun ke atas itu seharusnya diberikan sebagai prioritas, tapi harus membeli di luar [jatah vaksin Sinovac] ini. Yang saya dengar Pfizer dan Moderna itu yang bisa," ucapnya.
![]() |
"Kalau vaksinnya tidak meng-cover ya orang ini (di bawah 18 tahun dan di atas 59 tahun) nantinya harus tetap di rumah dan itu rasanya tidak mungkin," imbuh Windhu.
Sementara itu, pengamat kebijakan publik Trubus Rahadiansyah menilai perlu ada rincian aturan soal merek vaksin yang gratis.
"Ketika digratiskan, ini untuk yang mana? Sinovac saja atau bagaimana? Harus ada koordinasi karena jangan sampai perspesi publik merek apapun harus gratis. Koordinasi harus dilakukan pemerintah dan komunikasi publik," tandasnya.
(mts/arh)