Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh menyatakan hukuman kebiri terhadap pelaku kejahatan seksual tidak bisa dibenarkan.
Mereka menyatakan sudah mengantongi fatwa soal hukum kebiri, sebelum Presiden Joko Widodo (Jokowi) meneken PP tentang hal itu.
Fatwa itu lahir setelah menanggapi wacana hukuman kebiri pada 2018 lalu. Mereka mengkaji dalam konteks hukum islam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Wakil Ketua MPU Aceh, Tgk Faisal Ali mengatakan, pihaknya sudah menerbitkan fatwa nomor 2 Tahun 2018 terkait hukum kebiri. Fatwa itu dihasilkan ketika MPU mendengar pendapat dari dokter dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
"MPU Aceh sudah ada fatwa tentang kebiri. Kebiri itu tidak boleh. Kita juga sudah mendengar pendapat dari para dokter, terutama dari IDI, karena berdasarkan kajian mereka bahwa kebiri itu tidak akan memberikan efek dan aksi kebiri itu pun tidak spontan," kata Faisal Ali saat dikonfirmasi, Senin (4/1).
Ia menjelaskan, berdasarkan pemaparan para ahli ke MPU, mereka menyimpulkan kebiri itu tidak dibenarkan. Alasannya, selain tidak memberikan efek, juga tidak bisa menjadi pembelajaran.
Sebab, kata Faisal meskipun pelaku sudah di kebiri, aksi kejahatannya bisa saja berulang meskipun alat vitalnya sudah dilumpuhkan. Apalagi karena hal biologis yang harus tersalurkan.
"Karena biologis itu kan harus disalurkan, sewaktu tidak tersalurkan apa yang terjadi? Sebab kebiri kimia itu bukan mematikan nafsu, hanya melemahkan alat kelaminnya saja, tapi kemauan yang ada dalam hati dia itu semakin dahsyat," ucapnya.
Ia menyarankan pelaku kejahatan seksual harus di penjara seumur hidup.
"Masih banyak solusi yang bisa ditempuh selain kebiri, misalnya penjara seumur hidup," ujarnya.
![]() |
"Kita berpegang kepada fatwa yang sudah ada, bukan hanya untuk Aceh. Terkait pemerintah yang tidak mau mengamalkan itu hak pemerintah," katanya.
(dra/ayp)