Senin (11/1) pagi yang panas, di Dermaga JICT II, Tanjung Priok, Jakarta Utara, Budi Cahyono (49) sudah bersiap di tenda relawan untuk diterjunkan menyelam di perairan mencari puing dan korban pesawat Sriwijaya Air SJ 182.
Ditemani tujuh tabung oksigen di sampingnya, ia menunggu arahan dari Badan SAR Nasional (Basarnas) tanpa kepastian waktu.
"15 penyelam kita di kapal belum pulang, tapi kita sedang bersiap jika memang harus berangkat sekarang," kata Budi, membuka percakapan pagi itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Empat orang temannya tampak berleha-leha di atas matras di tenda itu. Sama seperti budi, mereka juga menunggu arahan Basarnas untuk diterjunkan ke perairan.
D beberapa tenda dadakan lainnya, terlihat bagian tim evakuasi hilir mudik dengan beragam aktivitas. Ada yang menyandang handuk di bahu, ada pula yang membawa secangkir kopi dengan uap panas yang masih tampak mengepul, sebagian terlihat masih terbaring di tempat tidur darurat.
Suasana memang cukup hangat, bersahabat, meski memang tak luput dari suasana tegang.
Budi mengaku, bukan hal yang mudah terjun langsung ke lokasi ketika ikut dalam evakuasi kecelakaan pesawat. Penyelam dari Persatuan Olahraga Selam Seluruh Indonesia (Possi) ini pernah ikut dalam evakuasi pesawat Lion Air JT610 pada Oktober 2018.
Belum genap dua tahun, kecelakaan pesawat menimpa Sriwijaya Air. Budi pun memutuskan untuk terlibat dalam upaya evakuasi di perairan Kepulauan Seribu yang baru dimulai akhir pekan ini.
Lihat juga:Tim SAR Sriwijaya Air SJ 182 Temukan KTP |
Menurut Budi, ada ragam hambatan dalam penyelaman evakuasi. Mulai dari faktor alam, faktor kesehatan, hingga faktor emosi.
"Cuaca kemarin kurang bagus, di dalam airnya keruh jadi tim kita belum ada yang mendapatkan puing itu. Mudah-mudahan hari ini keadaan laut bersahabat," kata Budi.
Tak hanya cuaca, di kedalaman 20 hingga 25 meter di titik lokasi jatuhnya pesawat Sriwijaya Air ini penyelam memiliki waktu yang relatif singkat untuk berenang ke dasar. Para penyelam hanya memiliki waktu 45 hingga 1 jam untuk menyelam.
Jika kondisi tubuh tidak bugar, kendala akan semakin terasa. Pihaknya tak akan mengambil risiko bagi penyelam yang kondisi badannya tak fit.
"Oke di sini (posko) dia fit, pas naik kapal, melakukan perjalanan ke lokasi, dan sampai sana kondisinya kurang baik, kita tidak akan turunkan," kata dia.
Selain itu, ia menyoroti masalah mentalitas yang disebutnya sebagai modal utama dalam pencarian badan pesawat dan korban penumpang. Para penyelam, kata dia, mesti tetap tenang apalagi jika di dalam air melihat potongan tubuh manusia dan puing-puing pesawat.
"Emosi penyelam pasti bercampuraduk ketika melihat hal tersebut. Saya juga pernah mengalami itu. Kaget dan takut pasti ada tapi kita harus tetap tenang demi keselamatan kita sendiri," tuturnya.
"Yang pasti mencari korban kecelakaan di dalam air memang tak pernah jadi sesuatu yang mudah," tutupnya.
![]() |
Dalam proses evakuasi Sriwijaya Air SJ 182 ini, penyelam dari berbagai satuan dan kelompok relawan terjun membantu.
Di antaranya, penyelam dari Basarnas, Batalyon Intai Amfibi (Yontaifib) TNI AL, Detaseman Jala Mangkara (Denjaka) TNI AL, Korps Pasukan Katak (Kopaska) TNI AL, Dinas Penyelam Bawah Air TNI, Brimob Polri, hingga para relawan.
Sejauh ini, para penyelam sudah menemukan beragam puing pesawat dan benda diduga milik penumpang. Misalnya turbin, KTP, baju pramugari, pelampung, uang kertas, hingga potongan jenazah.
Para penyelam juga sudah mendapat titik terang lewat temuan sinyal dari kotak hitam atau black box pesawat. Lantaran diduga tertima puing, pengangkatannya masih terkendala.
Peran penyelam ini sendiri mendapat perhatian khusus dari Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana TNI Yudo Margono. Ia, didampingi Direktur Operasional Puskopaska Kolonel Laut (P) Johan Wahyudi, singgah di KM Rigel-933 untuk memberi dukungan kepada tim ini.
"Saya ingin memberikan motivasi dan dukungan moril kepada para penyelam," kata Yudo, sambil memberikan bahan makanan untuk mendukung stamina para penyelam.
(tst/arh)