ANALISIS

Listyo Sigit, Pesan Pluralisme Jokowi dan Ganjalan Senioritas

CNN Indonesia
Jumat, 15 Jan 2021 09:47 WIB
Pencalonan Listyo Sigit Prabowo sebagai Kapolri dinilai memiliki pesan pluralisme atau keberagaman.
Komjen Listyo Sigit dicalonkan sebagai Kapolri dengan melompati sejumlah seniornya. (Foto: ANTARA FOTO/GALIH PRADIPTA)
Jakarta, CNN Indonesia --

Pengusulan Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang merupakan non-muslim sebagai calon tunggal Kapolri dipandang tak akan bermasalah meski ada potensi hambatan kinerja akibat faktor senioritas.

Presiden Joko Widodo sebelumnya mengirimkan Surat Presiden (Surpres) soal pencalonan Listyo itu kepada DPR melalui Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Rabu (13/1).

"Hari ini Surpres (surat presiden) telah kami terima dari presiden yang mana presiden menyampaikan usulan pejabat [Kapolri] mendatang tunggal yaitu Listyo," kata Ketua DPR Puan Maharani, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (13/1).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sejumlah pihak pun menyoroti status Listyo yang merupakan non-muslim. Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas sempat menggarisbawahi soal pentingnya kearifan Presiden untuk mengusung calon Kapolri "yang bisa diterima oleh masyarakat secara luas".

Terlebih, katanya, Indonesia masih dihadapkan pada isu kriminalisasi ulama dan penanganan pandemi Covid-19.

Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno menyebut ada pesan menarik di balik penunjukan Listyo sebagai calon tunggal Kapolri. Yakni, "jangan pernah lagi mempersoalkan masalah latar belakang agama maupun etnis."

"Karena negara ini dihuni oleh begitu banyak orang yang beragam, artinya pluralisme itu adalah suatu yang niscaya," ujar Adi, Kamis (14/1).

"Yang penting Kapolri baru ini bisa bekerja adil, berkomuniksi baik dengan semua komunitas-komunitas, terutama kelompok Islam yang dianggap radikal selama ini, dan tentu menjaga keamanan kita semakin kondusif," imbuhnya.

Adi menyebut yang paling penting adalah bagaimana nantinya Listyo selaku Kapolri bisa membangun jembatan komunikasi dengan kelompok tertentu di kalangan umat Islam kerap dicap radikal. "Yang penting pola komunikasinya adalah persuasif," ucapnya.

Senada, Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto menyebut status Listyo sebagai non-muslim tak akan terlalu menjadi soal.

Sebab, Listyo bukanlah Kapolri non-muslim pertama di Indonesia. Diketahui, Jenderal (Purn) Widodo Budidarmo merupakan Kapolri non muslim pertama yang menjabat pada periode 1974-1978.

Bambang berpendapat Kapolri dari kalangan non-muslim justru diharapkan dapat bekerja secara lebih profesional dalam upaya penegakan hukum.

"Karena dengan background non-muslim, sementara masyarakat kita [mayoritas] muslim, kalau dia tdak profesional, penegakan hukumnya tidak lurus dan tidak berkeadilan tentu akan menjadi sorotan," tuturnya.

Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni menyatakan tak masalah bila Kapolri berasal dari kalangan nonmuslim atau bukan beragama Islam.

"Polri bukan lembaga dakwah, Polri adalah instrumennya negara untuk kamtibmas (keamanan dan ketertiban masyarakat). Jadi, menurut saya, enggak masalah selama kapabilitasnya bagus," kata dia, Senin (23/11).

Undang-undang 2 Tahun 2002 tentang Polri pun tak menyebutkan syarat khusus bahwa Kapolri harus dijabat oleh yang beragama tertentu.

Pasal 11 ayat (6) hanya menyatakan bahwa calon Kapolri adalah Pati Polri yang masih aktif dengan memperhatikan jenjang kepangkatan dan karier.

Faktor Konco

Selain soal status keagamaan, ada sorotan pula terkait faktor kedekatan Listyo dengan Jokowi. Pasalnya, lulusan Akademi Kepolisian (Akpol) 1991 itu sempat jadi ajudan Jokowi selama  tahun sejak 2014.

Kedekatan keduanya diketahui sudah terjadi sejak sama-sama berdinas di Solo. Listyo sendiri pernah menjabat Kapolres Surakarta pada 2011 saat Jokowi menjabat Wali Kota Solo.

Bambang Rukminto mengatakan asumsi soal kedekatan antara Jokowi dan Listyo di balik pencalonan itu pasti akan muncul di masyarakat.

Apalagi, kata Bambang, prestasi Listyo sebenarnya terbilang biasa. Misalnya, Listyo hanya sekali menjabat sebagai Kapolda tipe A, yakni sebagai Kapolda Banten pada 2016.

"Kemudian kariernya, juga promosinya sangat cepat sekali pasca menjadi ajudan pak Jokowi, jadi asumsi masyarakat tentunya akan seperti itu, bahwa ada kedekatan dengan pak Jokowi," kata Bambang saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (13/1) malam.

Namun, Bambang menyebut faktor kedekatan berefek positif dalam hal kolaborasi kedua pihak. "Pak Listyo bisa memahami pak Jokowi, pak Jokowi bisa tahu karakter pak Listyo," ujarnya.

Infografis Deretan PR Calon Kapolri Pengganti Idham AzisInfografis Deretan PR Calon Kapolri Pengganti Idham Azis. (Foto: CNN Indonesia/Timothy Loen)

Menurut Adi, faktor kedekatan Listyo-Jokowi ini sebagai "Bonus, dalam arti sebagai nilai tambah yang sebenarnya tidak terlampau signifikan ya, ketimbang dibanding prestasi-prestasi yang sudah dilakukan oleh pak Listyo".

Sementara, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai kedekatan Listyo dengan Jokowi yang sudah terbangun sejak lama dapat dimanfaatkan untuk melakukan reformasi sektor keamanan.

"Sebagai mantan ajudan Joko Widodo, dia (Listyo Sigit) juga bisa memanfaatkan kedekatannya untuk menyampaikan situasi terkini agar Presiden dapat mendengar dan mengetahui masalah yang sedang terjadi, terutama reformasi sektor keamanan," kata Peneliti dari KontraS Rivanlee Anandar saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (13/1).

Hal itu diperkuat oleh pengalaman Listyo yang pernah menjabat Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv) Polri pada 2018.

"Dari pengalaman ini, penting bagi Listyo Sigit untuk melakukan pembenahan mengenai mekanisme pengawasan internal kepolisian," ucap dia.

Ewuh Pakewuh

Bambang justru lebih menyoroti pengusungan Listyo, lulusan Akpol 1991, sebagai calon Kapolri dalam hal senioritasnya. Hal ini dipandang akan berdampak pada hubungannya dengan kolega di Polri dan TNI.

Diketahui, sempat beredar sejumlah nama jenderal bintang tiga yang lebih senior yang diisukan menjadi Kapolri. Yakni, Gatot Edhy Pramono (Akpol 1988), Boy Rafly Amar (Akpol 1988), Arief Sulistyanto (Akpol 1987), dan Agus Andrianto (Akpol 1989).

Pelompatan sejumlah angkatan atau senior ini juga pernah dilakukan saat Jokowi memilih Tito Karnavian sebagai Kapolri.

Selain itu, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto merupakan lulusan Akademi Angkatan Udara (AAU) 1986, Kepala Staf TNI AD Jenderal Andhika Perkasa lulusan Akademi Militer 1987, Kepala Staf TNI AU Marsekal Fajar Prasetyo lulusan AAU 1988, dan Kepala Staf TNI AL Laksamana Yudo Margono lulusan Akademi Angkatan Laut 1988.

Bambang menyebut hubungan senior dan junior sangat kental di lingkungan Akpol maupun Akmil. Dia menilai itu bisa memicu hubungan ewuh pekewuh atau rasa sungkan antara Listyo dengan seniornya di Polri dan juga TNI.

"Kan pak Listyo tentunya jenderal paling muda ini, nantinya juga bisa mempengaruhi hubungannya ewuh pakewuh antar angkatan," ucap Bambang.

Di internal Polri, Listyo, jika disetujui DPR sebagai Kapolri, berpotensi memicu resistensi dari para seniornya.

Infografis yang menerangkan tentang berbagai kasus pelanggaran HAM di Asia Tenggara.Infografis yang menerangkan tentang berbagai kasus pelanggaran HAM di Asia Tenggara. (Foto: Astari Kusumawardhani)

"Karena bagaimanapun juga mereka dulu pernah menjadi abang asuh, terus kemudian sekarang dipimpin oleh adik asuh itu biasanya sangat mengganggu hubungan personal," kata Bambang.

Kata Bambang, hal itu dikhawatirkan dapat memunculkan faksi atau gerbong baru di internal Polri. Padahal, lanjutnya, pengembangan SDM di Polri semestinya harus menanggalkan faksi atau gerbong tersebut.

"Tapi kalau melihat pilihan saat ini, kelihatannya nanti juga akan memunculkan faksi baru, pak Listyo juga akan memunculkan faksi-faksi baru, ini yang tentunya tidak kita harapkan," tandasnya.

(dis/mjo/arh)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER