Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Alue Dohong meminta Gubernur Kalimantan Selatan Sahbirin Noor merancang langkah pemulihan lingkungan agar bencana alam di sana tak terulang.
Mengutip keterangan resmi KLHK pada Rabu (27/1), Alue meminta Pemerintah Provinsi Kalsel menyiapkan lima aspek evaluasi dan mitigasi bencana sebagai respons atas banjir yang menggenangi wilayah itu beberapa waktu lalu.
"Pertama adalah aspek perencanaan, yang menuangkan secara detail tentang apa kegiatannya? Di mana lokusnya? Kapan tata waktunya? Siapa yang bertanggung jawab? dan Berapa anggarannya? Untuk menyusun aspek perencanaan ini harus didukung data yang kuat, dan kerja sama antara KLHK dan Pemprov Kalsel, termasuk penyiapan Early Warning System tentang banjir," papar Alue dalam rapat koordinasi yang digelar secara daring pada Selasa (26/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Alue juga meminta Gubernur Sahbirin untuk membuat bendungan, daerah tangkapan air, normalisasi sungai, hingga menyusun peraturan daerah mengenai jasa ekosistem Kalsel sebagai rekayasa teknis.
Selain itu, dia menginstruksikan agar Daerah Aliran Sungai (DAS) di wilayah tersebut juga direhabilitasi. Begitu juga dengan konservasi tanah dan air, serta penanganan lahan kritis serta agroforestri.
Sementara dari aspek kelembagaan, Alue meminta KLHK dan Pemerintah Provinsi Kalsel memperbaiki alur komunikasi sehingga bisa lebih cepat dan tak berbelit. Sejauh ini ia mengatakan kedua pihak sudah memulai beberapa program pemulihan lingkungan di Kalsel.
"Yang sudah mulai dirintis dengan cara penanaman pohon secara besar-besaran, pembangunan kebun persemaian modern di beberapa tempat, tata kelola gambut, rehabilitasi mangrove dan saat ini harus dilakukan secara ketat reklamasi dan rehabilitasi eks lahan tambang," tambah dia.
Dalam kesempatan yang sama, Gubernur Kalsel Sahbirin menyebut bencana pada awal tahun 2021 ini merupakan banjir terparah di provinsi itu selama 100 tahun terakhir.
Ia mengungkapkan morfologi lahan, anomali cuaca, alih fungsi lahan dan pengelolaan drainase yang belum optimal menjadi penyebabnya.
Namun dalam kesempatan tersebut Sahbirin mengklaim tidak pernah menerbitkan izin tambang maupun perkebunan dan kehutanan di wilayahnya--sesuai moratorium hutan primer dan lahan gambut.
"Semua dilakukan untuk melindungi fungsi lingkungan di Provinsi Kalimantan Selatan agar tetap lestari," pungkas Sahbirin.
Sebelumnya, banjir yang menerjang Kalimantan Selatan menuai perdebatan, khususnya dari kalangan aktivis lingkungan. Sebagian pegiat lingkungan menilai masifnya deforestasi dan pemberian izin usaha perkebunan hingga tambang di Kalimantan jadi akar masalah terjadinya bencana.
Adapun data KLHK mencatat penurunan tutupan hutan di DAS Barito Kalimantan Selatan--yang merupakan wilayah penampung air--hingga 62,8 persen selama 1990-2019.
Dengan luas DAS di wilayah itu yang mencapai 1,8 juta hektare, hanya 15 persen di antaranya merupakan area hutan alam. Pada 2019 areal hutan alam tercatat 274.227 hektare, menyusut dari luasan pada 1990 yakni 737.758 hektare.
Aktivis lingkungan seperti Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menduga kondisi tersebut terjadi karena pemberian izin usaha di kawasan hutan tak terkendali. Sedangkan KLHK mengklaim 91 persen pelepasan kawasan hutan untuk izin usaha sebelum era Presiden Joko Widodo.