Rentetan program 'Penggerak' yang dicanangkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim diduga tak akan cukup menarik Indonesia dari potensi risiko ancaman menipisnya pembelajaran (learning loss) di tengah pandemi Covid-19.
Diketahui, terdapat serangkaian program bertajuk 'Penggerak' yang diluncurkan Nadiem sejak dirinya menjabat sebagai pemimpin tertinggi di Kemendikbud: Guru Penggerak, Dosen Penggerak, Organisasi Penggerak, dan yang terbaru adalah Sekolah Penggerak.
Pelbagai program tersebut intinya memberikan pelatihan dan pendampingan bagi satuan pendidikan untuk meningkatkan capaian pembelajaran. Caranya, Kemendikbud merekrut sejumlah kecil dari tenaga kependidikan dan sekolah yang bakal diberikan intervensi dan anggaran khusus selama kurun waktu tertentu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setiap tahun jumlah dan sebaran peserta program-program tersebut ditingkatkan hingga pada ujungnya mencakup seluruh siswa dan sekolah di Indonesia. Dengan harapan, di akhir program akan terjadi peningkatan capaian belajar siswa secara nasional berkat intervensi tersebut.
Contohnya pada program Sekolah Penggerak. Untuk tahun ini, hanya 2.500 sekolah negeri dan swasta yang bisa mengikuti program itu. Namun jumlahnya akan ditingkatkan menjadi 10 ribu sekolah di tahun 2022, 20 ribu sekolah di tahun 2023, 40 ribu sekolah di tahun 2024, dan seterusnya.
Nadiem mengharapkan sekolah dan tenaga kependidikan lulusan dari program-program tersebut bisa menjadi garda utama yang bakal memulai perubahan. Tujuan utamanya, ia ingin ada perubahan besar pada pendidikan Indonesia dalam kurun waktu 10-15 tahun ke depan.
Menanggapi hal-hal tersebut, pengamat pendidikan dari Universitas Paramadina, Totok Amin, menilai strategi tersebut tak cukup jitu jika diharapkan bisa mengangkat Indonesia dari keterpurukan pendidikan karena pandemi Covid-19.
"Itu menurut saya pendekatan ketika kita masih dalam keadaan normal. Kita ini sudah pandemi, treatment harus segera dilakukan," katanya kepada CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon, Selasa (2/2).
Menurut saya efeknya itu kecil, nggak terlalu besarTotok Amin- Pengamat Pendidikan |
Menurutnya, hal-hal yang dilakukan Nadiem sejauh ini sebenarnya adalah strategi yang umum dilakukan di sektor pendidikan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Strategi itu yakni dengan melakukan perubahan skala kecil di lingkungan yang terkendali.
Intervensi, lanjut Totok, dilakukan di lingkungan yang terbatas untuk memastikan perubahan yang diterapkan tidak memakan korban dengan jumlah yang masif kalau tidak berhasil. Jika sudah terbukti berhasil, intervensi baru dilakukan dengan skala besar.
Namun, menurutnya strategi seperti itu membutuhkan waktu yang cukup lama. Sementara di tengah pandemi dunia sedang berlomba-lomba mengejar potensi learning loss atau kehilangan pembelajaran karena pandemi.
"Ada faktor waktu. Jadi kalau seperti tadi, perubahan di 10 ribu sekolah, lalu ditambah jadi 20 ribu. Ini menurut saya efeknya itu kecil, enggak terlalu besar," tuturnya.
Totok berpendapat pemerintah harus berani mengambil risiko dengan menerapkan intervensi secara masif kepada seluruh tenaga kependidikan dan sekolah. Terlebih, menurutnya intervensi itu sangat minim terjadi selama pembelajaran jarak jauh diterapkan.
Ia mengatakan, selama ini kendala pendidikan di Indonesia adalah minimnya intervensi kepada guru dan sekolah. Padahal, ia menilai guru dan sekolah membutuhkan bimbingan dan bantuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Pada Agustus 2020, Bank Dunia melakukan analisa terhadap potensi dampak pandemi Covid-19 terhadap pembelajaran di Indonesia. Studi memproyeksi terjadi penurunan skor literasi PISA (Program Penilaian Pelajaran International) siswa hingga 11 poin selama 4 bulan pembelajaran jarak jauh.
Diketahui, PISA adalah tes yang dilakukan di 77 negara untuk mengukur capaian pendidikan. Sementara skor PISA Indonesia terlampau jauh di peringkat 72 dengan skor 371, dibawa rata-rata keseluruhan peserta yakni 487.
Sementara Indonesia saat ini sudah memasuki bulan ke-11 pembelajaran jarak jauh. Menurut catatan Kemendikbud, baru ada 34 ribu sekolah yang melakukan pembelajaran tatap muka di tengah pandemi.