Pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang meminta masyarakat lebih aktif menyampaikan kritik direspons Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dengan membeberkan catatan kasus dugaan kriminalisasi hingga serangan digital sepanjang tiga tahun belakangan.
Ketua Bidang Advokasi YLBHI, Muhammad Isnur mengungkapkan pelbagai bentuk ancaman tersebut tercatat meningkat dirasakan sebagian masyarakat yang aktif mengutarakan pendapat di era Jokowi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Iya [yang mengkritik jadi terancam]. Karena kriminalisasi dan serangan-serangan digital semakin tinggi," kata Isnur dalam keterangan tertulis kepada CNNIndonesia.com, Selasa (9/2).
Isnur pun mengatakan, jumlah kasus dugaan kriminalisasi aparat terhadap warga yang mengutarakan pendapat masih tergolong tinggi.
Catatan Akhir Tahun 2018 lalu misalnya, data YLBHI mendapati dugaan kriminalisasi terhadap pembela HAM banyak terjadi. Untuk kasus Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) serta pembubaran aksi, masing-masing sebanyak 3 kasus.
Lalu, ditemukan pula dugaan kriminalisasi terhadap serikat buruh dan gugatan balik ke para akademisi dengan jumlah masing-masing 2 kasus. Selain itu, intimidasi berupa kekerasan seksual dan penodongan senjata masing-masing sebanyak 1 kasus.
Tak berhenti di situ, sepanjang 2019 YLBHI mencatat 47 kasus dugaan kriminalisasi masyarakat sipil dengan jumlah korban 1.019 orang.
Berdasarkan isu, konflik agraria menempati posisi tertinggi sebanyak 11 kasus (23 persen). Diikuti isu mengenai kebebasan berpendapat dengan jumlah 10 kasus (21 persen).
Jumlah itu setara dengan kasus kriminalisasi terkait pembakaran lahan sebanyak 10 kasus (21 persen).
Adapun kasus lain adalah dugaan kriminalisasi karena hubungan kerja yaitu 6 kasus (13 persen). Sementara indikasi kriminalisasi karena menolak tambang dan memperjuangkan isu lingkungan hidup lainnya berjumlah masing-masing 4 kasus (4 persen).
![]() |
Ancaman bagi mereka yang mengemukakan pendapat masih berlanjut hingga tahun lalu. Menurut Isnur berdasarkan catatan YLBHI, dari pelbagai kasus pelanggaran terhadap hak berpendapat dan berekspresi, kriminalisasi adalah modus yang paling kerap digunakan.
Persentasenya dari total kasus mencapai 52 persen.
"Ini pula yang menyebabkan polisi sebagai aktor utama yang menyalahgunakan ketentuan pidana untuk menjerat masyarakat yang melaksanakan haknya untuk berpendapat dan berekspresi," sambung Isnur.
Selain kriminalisasi, modus yang muncul sepanjang 2020 adalah penangkapan sewenang-wenang, kekerasan yang berlebihan, pembubaran paksa, penghalangan ruang gerak, intimidasi, pembiaran kekerasan oleh kelompok organisasi masyarakat (Ormas), peretasan akun media sosial, pencitraan buruk hingga penghalangan akses bantuan hukum.
Sementara data dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perlindungan Pembela HAM sepanjang Januari-Oktober 2020 mencatat terdapat 116 kasus penyerangan terhadap pembela HAM.
Serangan tersebut dilakukan dengan dua motif. Pertama, serangan secara langsung seperti perampasan, penangkapan sewenang-wenang, pembubaran aktivitas secara represif, kriminalisasi, kekerasan, dan intimidasi. Lalu cara lainnya melalui peretasan dan pembajakan akun media digital.
Sebelumnya saat berpidato di Peluncuran Laporan Tahunan Ombudsman RI Tahun 2020, Jokowi menyatakan keinginan untuk mendengar lebih banyak masukan dan kritik terhadap kinerja pemerintah. Hal ini menurutnya perlu demi meningkatkan kualitas pelayanan publik.
"Masyarakat harus lebih aktif menyampaikan kritik, masukan, atau potensi maladministrasi, dan pelayanan publik harus terus meningkatkan upaya perbaikan-perbaikan," kata Jokowi pada Senin (8/2) kemarin.
![]() |
Jika betul demikian keinginan Jokowi, seraya membandingkan dengan deretan kasus yang sebelumnya terjadi, Isnur pun meminta bukti konkret dan berharap ancaman serupa terkait kebebasan berpendapat tak berulang usai pernyataan terbuka tersebut.
Ia pun meminta Presiden Jokowi lebih terbuka menerima pelbagai masukan publik.
"Ya sebaiknya Jokowi rajin dan terbuka mendengar masukan publik. Membaca dengan baik media-media pers," kata Isnur.
(rzr/nma)