Rasa-rasanya wajar saja jika publik muak pada kisruh Partai Demokrat. Bukan karena arus pemberitaan berputar di situ-situ saja, melainkan karena ada pejabat tinggi negara --bahkan dari lingkaran dalam Istana-- yang ikut cawe-cawe, yakni Kepala Staf Presiden Moeldoko.
Rakyat Indonesia sepatutnya risih dan perlu mengkritik keras manuver ini. Tidak salah juga jika corong kecaman mengarah pada Presiden Joko Widodo.
Kita tahu, tak jarang pejabat di negara lain mundur saat menilai dirinya sendiri melanggar etika. Ada malu yang berkecambah dalam benak hingga merasa tidak pantas menjadi pejabat yang sepatutnya jadi panutan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tapi di Indonesia beda. Moeldoko, Mantan Panglima TNI, orang dekat Presiden, justru tak segan terlibat dalam gerakan yang disebut banyak pakar hukum ilegal atau tak sesuai undang-undang.
Ada dua aspek yang kiranya perlu disoroti dari gelagat negatif Moeldoko, yakni etika dan hukum.
Pada kelompok masyarakat yang sudah memahami etika, peraturan atau hukum tak lagi jadi kebutuhan dasar untuk bisa hidup bersama dengan harmonis.
Mereka sudah paham tentang hal yang baik dan buruk bagi orang lain, sehingga tak perlu lagi ancaman hukuman untuk tidak berbuat buruk.
Mereka akan berupaya selalu berbuat baik. Jika belum bisa membantu, minimal tidak menyusahkan atau merugikan orang lain. Tanpa hukum atau peraturan, kelompok itu bisa hidup dengan harmonis.
Dalam konteks negara, pemerintah menjadi lembaga, atau sekelompok orang, atau instrumen yang bertugas menjaga keharmonisan. Mengayomi dan menengahi apabila ada masalah di antara warga negaranya.
Setiap negara di dunia saat ini, memang masih memiliki hukum atau peraturan. Akan tetapi, setiap negara pasti mendambakan masyarakatnya memahami etika, sehingga bisa hidup harmonis satu sama lain tanpa penerapan hukuman yang kelewat ketat.
Jika demikian, maka pemerintah atau pejabat pemerintahan semestinya menjadi panutan bagi kelompok yang dipimpinnya. Bukan malah ikut dalam gerakan yang memecah belah.
Mengenai manuver Moeldoko, pernyataan pakar dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof. Siti Zuhro kiranya patut direnungi.
"Ini (manuver Moeldoko) dilarang keras. Tidak perlu belajar untuk jadi sarjana politik, yang seperti itu sudah tidak etis, jangan dilakukan," ujar Siti dalam sebuah diskusi virtual, Sabtu lalu (6/3).
Dalam konsep kenegaraan, pemerintah bisa memaksa warga negaranya demi kepentingan bersama yang lebih besar. Sebaliknya, warga negara diwajibkan patuh pada peraturan demi keberlangsungan pemerintahan dan keharmonisan semua lapisan serta mencapai cita-cita bersama.
Misalnya pajak. Warga negara wajib patuh membayar tepat waktu agar pemerintah menerima pendapatan untuk kepentingan masyarakat yang lebih besar.
Jika tidak, maka ada hukuman berupa denda. Hukuman itu bisa disebut sebagai alat pemerintah untuk memaksa agar masyarakat taat dan disiplin membayar tepat waktu.
Jika dikaitkan dengan manuver Moeldoko, rakyat jelata yang selama ini dipaksa disiplin peraturan kiranya patut risih. Risih karena ada pejabat yang seharusnya menjadi panutan dalam mematuhi peraturan, justru terang-terangan tanpa malu melanggar.
Perlu ditegaskan bahwa di dalam UU Partai Politik, pemerintah wajib mematuhi Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) yang dimiliki setiap parpol.
Menurut banyak pakar hukum, penyelenggaraan Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat di Sumatera Utara tidak sesuai dengan AD/ART Demokrat. Jika begitu, maka pemerintah atau pejabatnya wajib menghormati AD/ART Demokrat.
Alih-alih menghormati atau minimal tidak ikut campur, Moeldoko yang merupakan pejabat tinggi pemerintah justru terlibat langsung dalam masalah tersebut. Terlebih, Moeldoko pun bukan kader Partai Demokrat, sehingga janggal apabila ikut cawe-cawe dalam gerakan yang melanggar hukum.
Parahnya lagi, gerakan yang melibatkan Moeldoko itu melanggar AD/ART yang disahkan pemerintah sendiri, dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM pada 2020 lalu.
Wajar jika publik geram dengan gelagat Moeldoko. Selama ini rakyat jelata dipaksa patuh dan disiplin membayar pajak. Tetapi kini ada pejabat negara yang digaji dari pajak rakyat yang dipaksa patuh peraturan, justru terang-terangan tak disiplin pada peraturan.
Dalam Mata Najwa beberapa hari lalu, Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan Presiden Jokowi tidak tahu menahu manuver Moeldoko dalam KLB Partai Demokrat. Padahal Moeldoko adalah pejabat yang berkantor di Kompleks Istana Kepresidenan.
Sekarang, Presiden Jokowi mungkin sudah tahu, karena Moeldoko jelas-jelas telah menerima jabatan ketua umum Demokrat hasil KLB di Sumatera Utara.
Pakar politik A.S. Hikam mengatakan kisruh Partai Demokrat adalah masalah serius karena ada pejabat negara yang terlibat. Menurutnya, Presiden mesti mengambil sikap.
Rasa-rasanya memang demikian. Presiden Jokowi mesti tegas. Apalagi, dalam visi misi saat kampanye Pilpres 2019 lalu, Jokowi ingin menciptakan pemerintahan yang efektif, bersih, dan terpercaya.
Jokowi juga ingin menegakkan sistem hukum yang bebas korupsi dan bermartabat.
Apabila Jokowi bergeming atau diam saja dalam keterlibatan Moeldoko di kisruh Demokrat, jangan salahkan publik jika pemerintahan saat ini dianggap tidak bermartabat, tidak efektif, serta tidak terpercaya.
(vws)