Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai langkah Tim Virtual Police Polresta Surakarta menangkap AM, warga Slawi yang menghina Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka sebagai langkah mundur kebebasan berpendapat dan demokrasi.
"Meskipun telah dilepaskan, ICJR menilai tindakan penangkapan yang dilakukan oleh kepolisian tersebut merupakan tindakan yang berlebihan dan merupakan langkah mundur pascapidato Presiden Jokowi soal kebebasan berpendapat dan demokrasi," tulis peneliti ICJR Sustira Dirga melalui keterangan tertulis yang diterima CNNIndonesia.com, Selasa (16/3).
Sustira mengatakan kasus tersebut menunjukkan bahwa masalah utama dari batasan kebebasan berpendapat bukan hanya pada UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang ramai didorong agar segera direvisi. Namun juga pada pemahaman aparat penegak hukum dalam penerapan beleid tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Sustira, penangkapan tidak seharusnya dilakukan aparat dalam kasus ini. Ia menilai UU ITE pun tidak tepat jika dijadikan dalih penangkapan AM atas komentarnya yang dinilai menghina Gibran, yang juga merupakan putra pertama Jokowi.
Misalnya, lanjut dia, jika menggunakan beleid pada Pasal 27 ayat (3) tentang penghinaan. Pasal tersebut seharusnya digunakan sebagai delik aduan absolut yang dalam mekanismenya harus dilaporkan oleh korban penghinaan secara langsung.
"Maka yang menjadi pertanyaan dalam penangkapan warga tersebut, apakah Gibran membuat pengaduan kepada kepolisian atau tidak. Jika tidak, maka kepolisian telah salah dalam menerapkan Pasal 27 ayat (3) UU ITE," tutur Sustira.
Sementara, ia menilai Pasal 28 ayat (2) UU ITE yang sering digunakan untuk menyasar kelompok atau individu yang mengkritik institusi juga tidak tepat karena komentar AM ditujukan kepada Gibran yang merupakan seorang individu.
Pendapat ini menurut Sustira juga didukung oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No. 013-022/PUU-IV/2006 tentang Pengujian Pasal 134, Pasal 136 bis dan Pasal 137 ayat (1) KUHP tentang penghinaan presiden. Sustira mengatakan dalam putusan tersebut MK mengingatkan dalam pertimbangannya agar penggunaan pasal pidana yang mengkriminalisasi kritik terhadap badan pemerintah harus dihindari oleh aparat penegak hukum.
Ia mengatakan restorative justice seharusnya merupakan upaya pemulihan kondisi antara pelaku, korban dan masyarakat. Sementara dalam kasus ini, ia menduga tak ada korban yang dirugikan karena Gibran tidak melaporkan kasus tersebut.
"Tindakan polisi bukan merupakan restorative justice. Dan hal ini sangat berbahaya sebab justru menimbulkan iklim ketakutan pada masyarakat dan tidak memulihkan," tambahnya.
Sustira menilai kasus ini membuktikan keberadaan polisi virtual justru mengancam dan memperburuk demokrasi dan menciptakan ketakutan bagi masyarakat untuk mengkritik pemerintah.
Ia menyarankan sebaiknya polisi virtual difokuskan untuk menangani kejahatan siber yang marak di media sosial, seperti penipuan online.
AM sempat ditangkap oleh Tim Virtual Police Polresta Surakarta setelah menulis komentar yang dinilai menghina Gibran. Setelah menyatakan permintaan maaf dan menghapus komentarnya, AM baru diizinkan pulang.
Tulisan itu disampaikan AM melalui akun Instagram pribadinya @arkham_87. Ia menulis komentar pada unggahan akun #garudarevolution terkait keinginan Gibran agar semifinal dan final Piala Menpora digelar di Solo.
"Tau apa dia tentang sepak bola, tahunya dikasih jabatan saja," tulis komentar AM pada Sabtu (13/3) pukul 18.00 WIB.
(fey/ain)