Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi Sukamdani menyatakan tak tersinggung dan tidak keberatan dengan cuitan Aktivis Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), Jumhur Hidayat.
Hariyadi mengutarakan itu saat menjadi saksi dalam sidang lanjutan Jumhur Hidayat di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (22/3).
Mulanya, Jumhur bertanya kepada Hariyadi selaku saksi ihwal cuitannya tentang UU Omnibus Law Cipta Kerja lewat akun Twitter @jumhurhidayat pada 7 Oktober lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi, saya ingin konfirmasi saja, apakah kalimat-kalimat yang saya ungkapkan itu biasa?" ucap Jumhur.
Ia menjelaskan bahwa kalangan pekerja biasanya protes ketika ada peraturan yang dianggap merugikan. Baginya, itu hal yang wajar. Dia lantas bertanya kepada Hariyadi selaku saksi dari kalangan pengusaha.
"Ada peraturan kok lebih mihak ke perusahaan, terus kawan-kawan buruh kesel. Itu biasa enggak?" tanya Jumhur kepada Haryadi.
Pertanyaan itu langsung dijawab secara singkat oleh Haryadi.
"Biasa," kata Hariyadi.
Menurut Jumhur, konfirmasi dari pihak pengusaha itu penting. Sebab, itu akan membuktikan apakah cuitannya benar-benar bermasalah atau tidak.
"Menurut saya penting pernyataan saksi itu, apakah pernyataan saya biasa. Saksi merasa tidak dibenci atau dimusuhi," ungkap Jumhur.
Pernyataan itu ditanggapi kembali oleh Haryadi. Dia menegaskan bahwa cuitan Jumhur tidak menyinggung dirinya selaku pengusaha. Termasuk cuitan Jumhur yang menyebut 'pengusaha rakus'.
"Yang jelas kami tidak merasa terusik, karena tidak spesifik menunjuk pengusaha siapa," ucap Haryadi.
Diketahui, Jumhur Hidayat didakwa telah menyebarkan berita bohong dan membuat onar lewat cuitannya terkait Omnibus Law Cipta Kerja. Dia melontarkan itu pada 7 Oktober 2020 lewat akun Twitter @jumhurhidayat
"UU ini memang utk INVESTOR PRIMITIF dari RRC dan PENGUSAHA RAKUS. Kalau INVESTOR BERADAB ya seperti di bawah ini. 35 Investor Asing Nyatakan Keresahannya terhadap Pengesahan UU Cipta Kerja," cuit Jumhur dalam akun Twitternya @jumhurhidayat, 7 Oktober 2020.
Menurut Jaksa, kicauan tersebut memicu polemik di masyarakat yang kemudian merembet hingga terjadi unjuk rasa besar pada 8 Oktober 2020 di Jakarta dan berakhir ricuh.
(yla/bmw)