Tim kuasa hukum Jumhur Hidayat menilai dakwaan jaksa penuntut umum terhadap kliennya tidak sah. Hal ini dikarenakan jaksa tidak menguraikan secara rinci mengenai unsur berita bohong dan keonaran dari cuitan Jumhur.
Diketahui, Jumhur sebelumnya didakwa menyebarkan berita bohong dan membuat onar lewat cuitannya di Twitter terkait Omnibus Law Cipta Kerja tahun lalu.
"Dakwaan jaksa tidak jelas dan cermat karena tidak menguraikan unsur-unsur berita bohong, keonaran, apa akibatnya, kan gitu. Itu tidak dijelaskan dalam surat dakwaan," kata anggota tim kuasa hukum, Oky Wiratama di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (28/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam nota keberatan atau eksepsi yang dibacakan di hadapan majelis hakim siang tadi, tim kuasa hukum mengatakan, jaksa dalam dakwaannya terlampau jauh berasumsi yang menyatakan bahwa Jumhur tidak mengetahui secara pasti isi dari UU Cipta Kerja.
Padahal, menurut tim kuasa hukum, saat Jumhur mengunggah kritikannya terhadap UU Cipta Kerja, draft awal UU tersebut sudah disebar oleh DPR.
Lebih lanjut, tim kuasa hukum menyatakan bahwa draft UU Cipta Kerja yang beredar di masyarakat kala itu justru menjadi polemik. Pasalnya, sempat tersebar berbagai versi draft UU Cipta Kerja, yang juga diakui oleh DPR.
Seperti diketahui, sebelum DPR mengesahkan UU Cipta Kerja, tersebar draft versi 1.028 halaman. Kemudian pada 5 Oktober saat UU disahkan muncul draft dengan 905 halaman.
Namun pada tanggal 9 Oktober, terdapat lagi draft UU Cipta Kerja sejumlah 1.052 halaman. Pada tanggal 12 Oktober, DPR melalui laman resminya mengeluarkan lagi draft sejumlah 1.035 halaman, dan pada tanggal 13 Oktober muncul draft sejumlah 812 halaman.
"Maka timbul pertanyaan siapakah yang menyebar berita bohong? Mengapa Terdakwa ditangkap pada tanggal 13 Oktober 2020 sementara draft final UU Cipta Kerja terus berubah-ubah pada website resmi DPR RI," ujar tim kuasa hukum.
Lebih lanjut, menurut tim kuasa hukum, ketiadaan tolak ukur dari jenis berita atau pemberitaan tersebut menunjukkan bahwa dakwaan yang dibuat oleh jaksa tidak didasarkan atas fakta dan tidak berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Oleh sebab itu, menurut tim kuasa hukum, surat dakwaan yang disusun jaksa tidak cermat dan jelas, karena tidak mengurai unsur 'patut disangka dan/atau berita bohong'.
"Untuk menghindari terjadinya kekeliruan dan kesesatan peradilan yang akan melanggar hak terdakwa, maka sudah selayaknya Majelis Hakim yang menerima dan memutus perkara a quo menyatakan surat dakwaan batal," paparnya.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Christina Natalia sebelumnya mendakwa Jumhur telah menyebarkan berita bohong dan membuat onar lewat cuitannya terkait Omnibus Law Cipta Kerja.
Menurut Jaksa, cuitan tersebut turut memicu polemik di masyarakat. Polemik kemudian merembet hingga terjadi unjuk rasa besar pada 8 Oktober 2020 di Jakarta yang berakhir ricuh.
(bmw/dmi/bmw/bmw)