Soal tarikan ideologis di tubuh Demokrat, Moeldoko menyebut hal itu jadi salah satu alasan dirinya bersedia menjadi ketua umum partai berlambang Bintang Mercy.
"Jadi ini bukan sekedar menyelamatkan Demokrat, tapi juga menyelamatkan bangsa. Itu semua berujung pada keputusan saya menerima permintaan untuk memimpin Demokrat, setelah tiga pertanyaan yang saya ajukan dijawab dengan baik oleh rekan-rekan sekalian," tuturnya.
Merespons hal itu, AHY meminta Moeldoko tidak menjadi mesin produksi fitnah, hoaks, dan adu domba.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, Moeldoko telah kembali berbohong dalam mengeluarkan pernyataan setelah kurang lebih tiga minggu tak muncul usai menjadi Ketua Umum 'abal-abal' dalam KLB Partai Demokrat di Sibolangit.
Lihat juga:AHY ke Moeldoko: Bohong Lagi, Bohong Lagi |
"Jangan sampai karena merasa terpojok oleh perbuatannya sendiri, dan juga terperangkap atas kebohongan awal, kemudian ke depan, KSP Moeldoko dengan pengikut-pengikutnya memproduksi lagi kebohongan-kebohongan baru. Menjadi mesin yang memproduksi fitnah, hoaks dan adu domba," kata AHY saat menyampaikan konferensi pers di Gedung DPP Demokrat, Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat, Senin (29/3).
Organisasi radikal tumbuh subur setelah Orde Baru runtuh. Perkembangan ormas radikal ini tidak merujuk ke periode kepresidenan tertentu.
Hal itu berdasarkan pengamatan tokoh PBNU, Sa'dullah Affandy, dalam artikelnya yang dimuat di wahidfoundation.org, 2016 silam.
Artikel berjudul 'Akar Sejarah Gerakan Radikalisme di Indonesia' itu menyebut keran demokrasi yang dibuka pasca era Reformasi telah menjadi lahan subur kelompok radikal tumbuh di Indonesia.
Menurut Sa'adullah Dalam konstelasi politik di Indonesia, masalah radikalisme semakin membesar karena terus mendapatkan pendukung.
Gerakan-gerakan radikal itu memiliki perbedaan pandangan dan tujuan. Ada yang sekadar memperjuangkan implementasi syariat Islam tanpa keharusan mendirikan negara Islam, namun ada juga yang memperjuangkan berdirinya negara Islam Indonesia hingga pendirian khilafah Islamiyah.
Pola organisasinya juga beragam, mulai dari gerakan ideologi moral seperti Majelis Mujahidin Indonesia, Hizbut Tahrir Indonesia, sampai yang mengarah pada gaya militer seperti Laskar Jihad, Front Pembela Islam, dan Front Pemuda Islam Surakarta.
Sementara itu, berdasarkan artikel yang ditulis oleh pengamat politik dari President University, Muhammad AS Hikam, berjudul 'Perkembangan Kelompok Radikal di Indonesia Pasca-Perppu Ormas Nomor 2 2017', fenomena radikalisme dan gerakan radikal dalam masyarakat tumbuh seiring melemahnya struktur di Era Reformasi.
Organisasi-organisasi Islam radikal, menurut Hikam, bermunculan setelah peristiwa Bom Bali pada 2002 dengan memakai nama yang berbeda namun dengan tokoh yang seringkali sama dan ideologi radikal yang sama.
Ia berkata, narasi anti NKRI, anti-pemerintahan Taghut, penguasa Kafir, membangun Negara Islam, Negara Khilafah, dan sebagainya kemudian mewarnai wacana dan praksis gerakan kelompok radikal itu.
Pada saat yang bersamaan, lanjutnya, keterbukaan dalam masyarakat demokratis di Indonesia juga memungkinkan masuknya berbagai pengaruh dalam pemahaman keagamaan, khususnya melalui teknologi telematika, lembaga-lembaga pendidikan keagamaan modern, dan mobilitas antar-bangsa yang sangat cepat.
(gil/mts/wis)