Pemerintah melarang masyarakat mudik lebaran tahun ini. Larangan dikeluarkan setelah mempertimbangkan risiko penularan Covid-19 yang masih tinggi.
Namun di sisi lain, pemerintah mengizinkan masyarakat untuk melaksanakan salat tarawih dan salat Idulfitri berjamaah di masjid. Izin dengan syarat pelaksanaan salat mematuhi protokol kesehatan (prokes) Covid-19 yang ketat.
Tak cukup di situ, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf), Sandiaga Uno meminta keran pariwisata mulai dibuka pada April 2021 ini. Sandiaga memprediksi sejumlah tempat destinasi wisata akan diserbu masyarakat karena pemerintah melarang aktivitas mudik dilakukan pada tahun ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah menyatakan bahwa sebanyak tiga kebijakan ini memperlihatkan pemerintah menerapkan standar ganda dalam upaya memutus rantai penularan Covid-19.
"Ini jadinya paradoks, artinya melarang tapi terjadi seperti itu. Pemerintah kelihatannya ambigu, standar ganda, atau paradoks," kata Trubus saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, Kamis (8/4).
Ia menyatakan bahwa kebijakan yang diambil saat ini memperlihatkan pemerintah lebih fokus pada upaya perbaikan ekonomi dibandingkan kesehatan masyarakat. Menurutnya, pemerintah tidak memiliki formula yang tepat dalam mengeluarkan kebijakan larangan mudik.
"Pemerintah ini, soal mudik, sudah kewalahan, kalau pun melarang cara melarangnya bagaimana, pemerintah juga tidak punya formula yang tepat kecuali mendirikan posko mudik, buang anggaran enggak efektif juga, orang mudik ya mudik," ucap dia.
Menurutnya, sektor kesehatan masyarakat akan semakin terancam, karena angka penularan Covid-19 pasca-Ramadan dan Idulfitri berpotensi mengalami peningkatan.
Trubus meminta pemerintah untuk menunda upaya perbaikan ekonomi dan lebih memprioritaskan upaya memperbaiki kesehatan masyarakat lebih dahulu.
Epidemiolog Universitas Airlangga, Windhu Purnomo menyatakan bahwa pemerintah senantiasa mengeluarkan kebijakan yang kontradiktif. Ia pun mengaku tidak memahami komitmen yang sebenarnya dipegang pemerintah.
"Pemerintah sejak awal kebijakannya sering kontradiktif dengan prinsip pemutusan rantai penularan dan itu berlarut-larut. Kita enggak ngerti komitmen pemerintah itu apa sebetulnya, mau kendalikan pandemi secepat mungkin atau apa," kata Windhu.
Ia mengatakan bahwa ekonomi adalah efek dari persoalan kesehatan. Menurutnya, ekonomi akan mengalami perbaikan secara otomatis bila pemerintah mampu menyelesaikan persoalan kesehatan.
Ia menyatakan, angka penularan Covid-19 di Indonesia terlihat mengalami penurunan karena pemerintah memasukkan laporan hasil tes swab antigen ke dalam laporan harian.
Dia melanjutkan, berdasarkan hasil PCR dan VCM diketahui positivity rate kita penularan Covid-19 di Indonesia masuk kategori 'very high incident'/ karena berada di angka 32 persen pada Senin (5/4) dan masuk 'high incident' karena berada di angka 19,5 persen pada Selasa (6/4).
"Menurut WHO di atas 20 persen itu 'very high incident'. Baru terkendali itu kalau sudah masuk 'moderate incident' antara 2 sampai 5 persen. Kita masih jauh dari situ," katanya.
Membuka destinasi wisata dan mengizinkan masyarakat melaksanakan salat tarawih berjemaah di masjid, kata dia, merupakan kebijakan yang tidak tepat. Menurutnya, kebijakan itu berpotensi meningkatkan angka penularan Covid-19 di Indonesia.